Selama enam dekade lebih menggenggam kelir dan menyuarakan kisah manusia lewat wayang, Ki Anom Suroto berpulang pada Kamis (23/10), meninggalkan warisan besar bagi dunia pedalangan Nusantara.
KOSONGSATU.ID—Menurut Ki Edi Sulistiyono, dalang senior RRI Surakarta, Ki Anom Suroto adalah sosok penjaga murni gaya pedalangan Surakarta.
“Pedalangan Solo itu ya Pak Anom itu. Dari bentuk, suluk, sampai penokohan, semuanya mencerminkan gagrak Surakarta Kasunanan dan Mangkunegaran,” ujarnya, Kamis (23/10).
Di tengah arus modernisasi dan keinginan viral para dalang muda, Ki Anom tetap teguh pada pakem. Ia tak tergoda mencampur gaya Jogja atau Kedung Banteng (Sragen Timur).
Menurut Ki Edi, Ki Anom adalah dalang paripurna yang menguasai tiga unsur utama: sabet, catur, dan iringan. “Sabet itu cekelan wayang, catur itu ginem atau suluk khasnya, dan iringan adalah penguasaan gending. Ki Anom itu lengkap,” tuturnya.
Merintis Regenerasi lewat Forum “Rebo Legen”
Bagi Ki Anom, wayang bukan sekadar tontonan, tapi juga tuntunan dan tatanan. Ia percaya dalang punya peran moral dalam membentuk karakter bangsa.
Warisan pentingnya adalah forum Rebo Legen, pertemuan rutin setiap Rabu Legi di sanggar Timasan, Solo. Di sana, para dalang muda belajar, berdiskusi, dan dikritik langsung olehnya.
Ki Anom kerap menasihati murid-muridnya agar tidak fanatik pada satu gaya. “Dalang itu harus mau belajar dari siapa pun, tua atau muda,” sering ia pesan.
Selain menjadi guru, ia juga aktif di masyarakat: ronda, kerja bakti, hingga menjabat Ketua RW. Sosoknya dikenal sederhana dan dermawan.
Dalang Idola Presiden Gus Dur
Presiden keempat RI KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) termasuk penggemar berat wayang. Salah satu idolanya: Ki Anom Suroto.
Dalam koleksi pribadinya di Museum Islam Indonesia KH. Hasyim Asy’ari, Jombang, tersimpan kaset-kaset rekaman Ki Anom berdampingan dengan karya Ki Narto Sabdo dan Ki Enthus Susmono.
Pada 20 Mei 2007, Gus Dur menanggap langsung Ki Anom Suroto di Ciganjur. Lakon Semar Kuning yang dibawakan malam itu dianggap Gus Dur sebagai kritik tajam terhadap pemerintah yang abai terhadap rakyat.
Bahkan saat sakit di RSPAD, Gus Dur sempat bersikeras pulang hanya untuk menonton lakon Parikesit Jumeneng. “Kalau dokter nggak boleh, ya nggak apa-apa. Nonton wayang juga sudah cukup bahagia,” ujar Gus Dur waktu itu.
Dalang Suara Emas dan Lirik Sufistik
Julukan “Dalang Suara Emas” disematkan karena vokalnya yang kung dan gandem—merdu dan intens. Tapi di balik suara itu, ia menyelipkan pesan spiritual.
Ki Anom menulis tembang-tembang sufistik, seperti Pepeling, yang mengingatkan umat agar tak lupa salat dan selalu ingat Sang Pencipta.
Dalam lakon Wahyu Makutarama, ia menafsirkan ajaran istirja’: kembali kepada Allah sebagai tujuan akhir. Pandangan itu berpadu dengan falsafah Jawa Sangkan Paraning Dumadi—kesadaran akan asal-usul dan arah hidup manusia.
Membumi dan Inovatif
Meski teguh pada pakem, Ki Anom bukan sosok kaku. Ia pernah mendirikan koperasi dalang Amarta dan Yayasan Sesaji Dalang untuk menyejahterakan para seniman.
Ia juga terbuka terhadap inovasi: menggabungkan unsur tradisi dan modernitas agar wayang bisa menjangkau generasi muda.
Dikutip dari Wayang Indonesia Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity (6 Maret 2010), Ki Anom pernah dikirim ke India, Nepal, Thailand, Mesir, dan Yunani untuk memperdalam pengetahuan tentang dewa-dewa dan akar pedalangan.
Menurut peneliti V.M. Clara van Groenendael, lakon-lakon Ki Anom “selalu punya cermin sosial” — mengangkat isu penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan moral bangsa.
Beberapa karyanya yang populer antara lain Semar Mbangun Kahyangan, Anoman Maneges, dan Wahyu Tejamaya.



Tinggalkan Balasan