Boidi dan pasangan lansia Mulyadi–Parinem akhirnya bisa tersenyum. Hidup dalam rumah tak layak puluhan tahun, kini mereka mendapat Rumah Syukur Layak Huni berkat gotong royong OPSHID.

KOSONGSATU.ID — Bagi sebagian orang, rumah mungkin sekadar tempat berteduh. Tapi bagi Boidi (44) dan pasangan Mulyadi (68)–Parinem (63), rumah adalah mimpi panjang yang baru terwujud setelah puluhan tahun.

Di bawah program Rumah Syukur Layak Huni Shiddiqiyyah Fatchan Mubina (RSLHSFM) yang digagas Organisasi Pemuda Shiddiqiyyah (OPSHID) Front Ketuhanan Yang Maha Esa, mimpi itu kini pelan-pelan menjelma nyata. Program ini hadir dalam rangka menyambut 97 tahun Hari Sumpah Pemuda sekaligus lahirnya Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.

Gotong royong OPSHID Bantul dan warga membangun RSLHSFM. – Dok. OPSHID Bantul

Boidi: Seniman, Buruh, dan Kepala Keluarga Bertujuh

Hidup di rumah nebeng, bocor di sana-sini, dengan jendela tanpa kaca, itulah keseharian Boidi. Bersama istri, tiga anak, seorang menantu, dan cucu, total tujuh orang tinggal di satu rumah semi permanen.

Rumah semipermanen yang selama ini ditinggali Boidi dan keluarganya. – Dok. OPSHID Bantul

Sebagai seniman, Boidi aktif di wilayahnya, tapi penghasilan tak tentu. Untuk menafkahi keluarga, ia kerap jadi buruh bangunan. “Kerja seminggu ya untuk kebutuhan seminggu,” katanya lirih saat diwawancara tim OPSHID Media.

Gubuk yang dibangunkan warga untuk tinggal sementara Boidi dan keluarganya selama rumahnya dibangun. – Dok. OPSHID Bantul

Kondisi rumah yang sempit bahkan membuat warga sekitar pernah membangunkan gubug sederhana, omah kebo, agar keluarganya bisa bernapas lebih lega. Kini, lewat RSLHSFM, rumah baru untuk Boidi mulai berdiri di tengah kebun miliknya. Warga sampai ikut menebang pohon dan membuka akses jalan agar material bisa masuk.

Mulyadi–Parinem: Lansia Tegar, Hidup di Gedek Reyot

Berbeda dengan Boidi, pasangan Mulyadi dan Parinem sudah puluhan tahun tinggal di rumah berlantai tanah dan berdinding gedek. Hidup mereka sederhana: menjual kayu bakar, meracik jamu dari rempah, hingga memetik sawo di pekarangan.

Rumah keluarga Mulyadi sebelum dibangun, tampak dari dalam dan luar. – Dok. OPSHID Bantul

Namun nasib berkata lain. Lima tahun lalu, Parinem mengalami kecelakaan yang membuatnya tak lagi bisa bekerja. Sementara Mulyadi juga sempat terpeleset saat hendak menjual sawo, hingga kini hanya bisa berjalan ngesot atau dengan tongkat kayu.

Di tengah keterbatasan itu, program RSLHSFM datang bak cahaya. Warga desa menyambut dengan antusias. Sejak peletakan Batu Syukur, gotong royong terus mengalir. Bahkan, warga setempat membuat jadwal piket sukarela untuk bergiliran membantu pembangunan rumah mereka.***