Di tengah gempuran kapitalisme Barat, Presiden Soekarno memilih berdikari. Ia menutup pintu konsesi asing, memaksa perusahaan minyak menyerahkan laba, dan membangun fondasi ekonomi nasional lewat Pertamina.
KOSONGSATU.ID — Terlepas dari berbagai blunder politik di ujung kekuasaannya, Soekarno pernah menjadi benteng terakhir ekonomi Indonesia. Selama ia berkuasa, negara-negara kapitalis dibuat gigit jari. Bung Karno sadar, minyak adalah urat nadi dunia industri. Ia tahu, siapa menguasai minyak, menguasai dunia.
Setelah kunjungan ke Amerika Serikat dan Uni Soviet pada 1959, kesadarannya kian tajam. Ia melihat bagaimana negara-negara besar berebut ladang minyak, baik dengan kekuatan senjata maupun diplomasi halus. Indonesia, yang kaya sumber daya dan strategis di Asia Pasifik, jadi sasaran empuk investasi asing. Tapi Soekarno menolak tunduk.
Kala itu tiga raksasa asing—Shell, Caltex, dan Stanvac—menguasai industri minyak di Indonesia. Soekarno gusar. Ia tak sudi negeri sendiri jadi “persemakmuran minyak” di bawah kaki Paman Sam. “Indonesia tuan rumah, kenapa harus dihalang-halangi seperti maling?” begitu semangatnya saat melihat pejabat negara tak bisa masuk wilayah konsesi asing.
Ia pun memerintahkan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Chaerul Saleh menyiapkan langkah hukum untuk membatasi kekuasaan asing. Hasilnya, lahirlah Undang-Undang Nomor 44 Perpu Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak. Pasal 3 undang-undang itu tegas: “Pertambangan minyak dan gas bumi hanya diusahakan oleh Negara.”
Undang-undang itu jadi tameng Indonesia. Perusahaan asing wajib menyerahkan 60 persen laba kepada negara. Shell, Caltex, dan Stanvac kalang kabut. Soekarno ingin rakyat merasakan hasil bumi sendiri. “Tidak ada lagi bayi-bayi yang kelaparan di bawah kemakmuran ekonomi Indonesia!” ujarnya dalam pidato di Front Nasional, 3 Mei 1963.
Ia dan Chaerul lalu menggeber industrialisasi: mendirikan Krakatau Steel, Pupuk Sriwijaya, dan memperkuat Pertamina dengan armada kapal tanker. Targetnya ambisius—Indonesia jadi negara terkaya di Asia pada 1975, dengan minyak dan gas sebagai modal utama.
Soekarno juga menolak Freeport Sulphur yang pada 1964 datang menawarkan eksplorasi emas di Irian Barat. “Tawaran menarik, tapi tidak untuk saat ini. Coba tawarkan kepada generasi setelah saya,” ujarnya santai kepada Direktur Freeport, Forbes K. Wilson. Kalimat ramah itu sejatinya tamparan halus: Indonesia bukan barang dagangan.
Namun sejarah berbalik. Setelah Soekarno terguling, Soeharto membuka pintu selebar-lebarnya bagi investasi asing. Kiblat ekonomi pun berubah. Indonesia masuk ke pusaran liberalisme global—yang akhirnya menyisakan ketimpangan ekonomi dan sosial hingga kini.
Soekarno mungkin jatuh, tapi warisan “berdikari”-nya tetap menjadi pengingat: negeri ini pernah berdiri tegak menolak dijadikan pasar bagi keserakahan dunia.***
Tinggalkan Balasan