Tanpa sadar, banyak orang yang mengaku beriman menjalani hidup tanpa menghadirkan Tuhan. Mengaku percaya, tapi hanya mengingat-Nya saat susah. Inilah wajah halus ateisme praktis yang sering tak terdeteksi.
Redaksi. 
PERNAHKAH kamu merasa hidupmu berjalan baik-baik saja tanpa perlu mengingat Tuhan setiap waktu? Kalau iya, hati-hati. Bisa jadi, tanpa sadar kamu sedang menapaki jalan ateisme praktis—sebuah kondisi ketika seseorang tetap percaya Tuhan, tapi hidupnya tak lagi melibatkan-Nya.
Ada dua jenis ateisme: teoritis dan praktis. Ateisme teoritis adalah penolakan terhadap keberadaan Tuhan secara sadar dan ideologis. Tapi, ateisme praktis jauh lebih halus, lebih menipu, bahkan sering dilakukan oleh orang yang mengaku beriman.
Ia muncul ketika manusia hanya percaya pada hal yang bisa dibuktikan, dihitung, dan dimiliki. Saat uang, ambisi, dan gengsi lebih menentukan arah hidup ketimbang nilai ilahi.
Kita berdoa hanya saat sakit, bersujud hanya saat takut gagal, dan mengingat Tuhan hanya ketika tak punya pegangan lain. Selebihnya, hidup dijalani dengan logika “asal untung dan nyaman.” Di titik itulah, Tuhan perlahan tersisih dari pusat kesadaran kita.
Ketika Iman Berubah Jadi Formalitas
Coba jujur, dalam seratus persen hidupmu, berapa persen Tuhan terlibat di dalamnya? Bahkan saat salat pun, pikiran sering ke mana-mana—mendengar suara TV, teringat laptop belum di-charge, atau memikirkan omongan orang. Ritualnya jalan, tapi hatinya kosong.
Bahkan dalam momen sakral sekalipun, Tuhan bisa absen dari kesadaran kita. Kalau Ronaldo hampir mencetak gol, dan kamu spontan mengumpat, bukan astaghfirullah, itu juga tanda betapa refleks spiritual kita sudah tumpul.
Ateisme praktis bukan soal keyakinan, melainkan soal kesadaran. Soal seberapa sering kita menghadirkan Allah dalam tindakan sehari-hari. Orang yang selamat dari ateisme praktis bukan yang paling fasih bicara tentang Tuhan, tapi yang paling sadar bahwa setiap langkah, keputusan, bahkan seteguk air yang ia minum, selalu berada di bawah ridha-Nya.
“Kesadaran Allah” itulah benteng sejati melawan ateisme praktis. Sebab, yang paling berbahaya bukan orang yang tak percaya Tuhan, melainkan orang yang mengaku percaya—tapi hidup seolah Dia tidak pernah ada.***
Tinggalkan Balasan