Selama lebih dari dua dekade, ratusan warga di tiga kecamatan Surabaya hidup dalam ketidakpastian atas tanah yang mereka tempati. PT Pertamina mengklaim lahan permukiman mereka. Dasar klaim itu adalah surat kepemilikan penjajahan Belanda peninggalan tahun 1918.
KOSONGSATU.ID—Selama lebih dari dua puluh tahun, ratusan warga di tiga kecamatan di Surabaya — Wonokromo, Dukuh Pakis, dan Sawahan — hidup dalam ketidakpastian atas tanah yang mereka tempati.
Semua bermula dari proses sertifikasi yang berjalan normal pada awal 2000-an, lalu berubah menjadi sengketa panjang setelah PT Pertamina secara sepihak mengklaim kepemilikan atas lahan tersebut.
Awal yang Lancar (2001–2004)
Menurut data kronologi perkara yang disusun warga terdampak—yang diterima KosongSatuID—pada 2001, sebanyak 33 warga Kelurahan Sawunggaling mengajukan sertifikat hak milik (SHM) ke BPN.
Semua proses berjalan lancar hingga sertifikat terbit pada 2004. Dua tahun kemudian, 47 warga lain juga melakukan hal yang sama dan berhasil memperoleh sertifikat pada tahun yang sama.
Hingga titik ini, tidak ada tanda-tanda sengketa. Tanah-tanah tersebut telah lama dihuni warga dan digunakan untuk hunian, rumah ibadah, hingga fasilitas sosial.
Titik Balik: Munculnya Klaim Pertamina (2009–2010)
Masalah baru muncul pada 2009, ketika 18 warga Sawunggaling kembali mengajukan sertifikat. Mereka sudah melalui sidang Panitia A, melunasi BPHTB, dan tinggal menunggu Surat Keputusan (SK) penetapan hak. Namun, pada 2010, proses penerbitan sertifikat itu tiba-tiba dihentikan oleh BPN karena adanya klaim dari PT Pertamina.
Pertamina mengaku memiliki dasar kepemilikan berupa Surat Eigendom Verponding (EV) dari masa penjajahan Belanda. Akibatnya, warga di Kelurahan Pakis, Kecamatan Sawahan yang hendak meningkatkan status tanahnya dari AJB ke SHM juga mulai ditolak oleh BPN.
Upaya Warga Mencari Keadilan (2011–2015)
Sejak itu, warga tak tinggal diam.
Tahun 2011, perwakilan RW 01 Karangan mencoba menemui manajer pemasaran Pertamina Jagir Wonokromo. Namun, pertemuan berakhir buntu karena pihak Pertamina tidak mampu menunjukkan batas-batas tanah yang diklaim. Menurut warga, Perusahaan Minyak Negara itu hanya menyebut bahwa data rinci berada di kantor pusat Jakarta.
Warga RW 05 Kelurahan Pakis kemudian membentuk Tim 9, menuntut BPN agar membuka blokir pelayanan pertanahan. Upaya ini berlanjut hingga 2013, ketika Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, memfasilitasi mediasi antara warga, pemerintah kota, kejaksaan, Polrestabes, dan BPN. Namun, mediasi itu gagal menghasilkan solusi.
Dua tahun kemudian, pada 2015, PT Pertamina mengirim surat resmi ke BPN Surabaya I, mengklaim 134 hektare tanah berdasarkan EV No. 1305 (1918). Padahal, area tersebut telah lama dihuni dan dikelola warga sebagai permukiman.

Klaim Meluas dan Program Terhenti (2016–2023)
Sengketa ini menjalar ke wilayah lain. Pada 2016, di Kelurahan Gunungsari (Dukuh Pakis), program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) sempat berjalan, tapi dihentikan lantaran klaim Pertamina dengan dasar EV 1305.
Kemudian, pada 2022, warga RW 03 Jogoloyo (Gunungsari) menghadapi penolakan perpanjangan SHGB. Mereka mengadu ke Komisi A DPRD Kota Surabaya, namun hearing tersebut juga berujung tanpa hasil karena BPN dan Pertamina sama-sama meminta waktu untuk berkoordinasi ke pusat di Jakarta.
Kondisi makin pelik ketika pada 2023, Pertamina kembali berkirim surat ke BPN Surabaya I, kali ini mengklaim 220,40 hektare dengan dasar EV 1278 — memperluas cakupan klaim dari sebelumnya. Warga pun semakin resah karena lahan yang diklaim itu mencakup permukiman yang sudah dihuni turun-temurun.




0 Komentar