Narasi negatif tentang tembakau terus mengemuka, terutama setelah disahkannya Peraturan Pemerintah (RPP) turunan UU Kesehatan 2023, yang mengatur soal zat adiktif. Sayangnya, pengetahuan tentang tembakau dipersempit maknanya: hanya sebagai biang kerok perusak kesehatan yang mematikan. Padahal, cerita tembakau tak sesederhana itu. Dan ini ilmiah.


KOSONGSATU.ID—Selama ini, pembicaraan soal tembakau hampir selalu dibingkai dalam satu kata: rokok. Tidak salah, sebab sejak zaman kolonial, memang itulah fungsi utama tembakau yang dikenalkan Belanda: bahan baku untuk rokok kretek, cerutu, hingga industri ekspor.

Tapi, menyamakan tembakau dengan rokok, lalu menyamaratakan seluruh produk tembakau sebagai bahaya, adalah cara berpikir yang terlalu sempit.

Seiring kampanye anti-rokok yang semakin gencar dari organisasi seperti WHO dan lembaga donor global seperti Bloomberg, muncul juga stigma baru: tembakau = musuh kesehatan. Apalagi setelah WHO meluncurkan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) pada 2003, yang hingga kini Indonesia belum ratifikasi—bersama Kuba.

Masalahnya, narasi besar ini disebar tanpa memberi ruang pada diskusi yang lebih ilmiah dan adil soal tembakau. Akibatnya, masyarakat hanya dicekoki sisi gelap tembakau, tapi tak pernah diberi cukup ruang untuk melihat potensi baiknya.

Padahal, berbagai penelitian ilmiah—baik dari dalam maupun luar negeri—menunjukkan bahwa tembakau bukan tanaman jahat. Justru, ketika diolah dengan cara tepat, tembakau bisa membawa manfaat kesehatan.

Ambil contoh beberapa produk rokok herbal yang dikembangkan di Indonesia: Divine Kretek karya dr. Greta Zahar, Sin Herbal dari Malang, hingga Sehat Tentrem dari Jombang.

Banyak testimoni menunjukkan produk-produk ini membantu meredakan gangguan asam urat, tekanan darah, kolesterol, bahkan stres dan gangguan psikologis. Artinya, bukan rokok yang salah, melainkan cara pengolahannya yang harus dikritisi—terutama jika mengandung tar, alkohol, atau bahan aditif kimia berbahaya.

Tembakau yang diproses secara tradisional dan bebas zat aditif bisa menjadi alternatif terapi. Konsep ini sebenarnya mirip seperti ganja atau opium—dua tanaman yang punya sisi medis jika dikelola dengan bijak.

Tak hanya untuk merokok, potensi tembakau jauh lebih luas. Dr. Josi Ali Arifandi, ahli dari Universitas Jember, misalnya, pernah memaparkan hasil penelitiannya bahwa tembakau lokal bisa menghasilkan senyawa protein anti-kanker, bahkan sebagai sumber obat berbasis nikotin tartrat. Varietas seperti genjah kenongo bahkan bisa menghasilkan GCSF, protein penting untuk terapi kanker.

Sementara itu, Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas) menunjukkan bahwa limbah tembakau bisa diolah menjadi pestisida, minyak atsiri, hingga bahan parfum. Teknologi memang jadi tantangan, tapi potensi itu nyata.

Teknologi nano bahkan membuka peluang baru. Prof. Dr. Sutiman B. Sumitro dari Universitas Brawijaya menjelaskan bahwa asap rokok bisa diolah secara kimiawi menjadi zat dengan struktur nano yang kompleks dan bermanfaat untuk terapi luka dan kesehatan kulit. Lewat inovasi seperti balur herbal dan scrab, riset ini menunjukkan bahwa asap pun bisa diolah ulang secara ilmiah.

Semua ini menunjukkan satu hal: tembakau tidak layak dipukul rata. Tanaman ini punya manfaat—bahkan sudah terbukti secara klinis—jika diproses dan digunakan dengan tepat.

Tentu, kampanye hidup sehat dan perlindungan masyarakat tetap penting. Tapi tidak adil jika tembakau terus-menerus dijadikan kambing hitam. Kita perlu membedakan antara abuse dan use, antara penyalahgunaan dan pemanfaatan.

Sudah saatnya publik mendapatkan narasi seimbang. Bahwa tembakau, seperti tanaman lainnya, bukan hitam-putih. Ia bisa merugikan, bisa pula menyembuhkan. Semua bergantung pada siapa yang mengolah, bagaimana cara mengolahnya, dan untuk tujuan apa.

Dan barangkali, inilah waktunya untuk menyegarkan kembali ingatan: bahwa tembakau, dalam sejarah botani, pernah disebut sebagai “gulma paling berdaulat yang pernah ditawarkan bumi untuk umat manusia.”

Mungkin, kita hanya perlu melihatnya dengan kacamata yang lebih adil dan ilmiah.*