Petani tembakau makin terpinggirkan. Produksi turun, cukai naik. Negara untung, tapi petani buntung. Tanpa perlindungan, mereka dibiarkan mati pelan-pelan. Barangkali Temanggung baru permulaan.


KOSONGSATU.ID–Langit cerah di atas ladang Temanggung tak mampu mengusir awan gelap di hati para petani. Sejak awal Juni, kabar penangguhan pembelian tembakau oleh PT Gudang Garam datang bagai petir di musim tanam. Bagi Temanggung, kabupaten yang tembakaunya menyandang reputasi terbaik di Indonesia, keputusan ini bukan sekadar masalah bisnis. Ini krisis identitas ekonomi.

PT Gudang Garam, salah satu raksasa industri rokok nasional, menghentikan sementara pembelian tembakau dari Temanggung. Alasannya: penurunan penjualan rokok secara nasional dan stok tembakau yang berlimpah, cukup untuk empat tahun ke depan.

Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan, saham Gudang Garam (GGRM) terperosok hampir 50 persen sejak 2021. Sementara itu, volume produksi rokok nasional terus menyusut—dari 356,5 miliar batang pada 2019 menjadi hanya sekitar 294 miliar batang pada 2023, menurut Kementerian Perindustrian.

Keputusan PT Gudang Garam menghentikan pembelian tembakau dari Temanggung ini, pada hakikatnya, bukan hanya urusan stok. Ini bukan sekadar kebijakan efisiensi perusahaan. Ini cermin dari diskriminasi sistemik terhadap petani tembakau di Indonesia—sebuah ketidakadilan struktural yang telah berlangsung lama dan kini menunjukkan wajahnya secara terang-terangan.

Temanggung hanyalah contoh paling baru. Kabupaten ini terkenal sebagai salah satu penghasil tembakau terbaik di Indonesia, terutama varietas srintil yang legendaris. Tapi bahkan kualitas unggul tak cukup melindungi petani dari kenyataan pahit: saat permintaan menurun dan stok menumpuk, merekalah yang pertama kali dikorbankan.

PT Gudang Garam menyatakan bahwa stok tembakaunya sudah cukup untuk empat tahun ke depan. Penurunan penjualan rokok dan tekanan pasar modal membuat perusahaan memangkas pembelian. Tapi petani yang menggantungkan hidup pada ladang tak punya ruang negosiasi. Mereka terpinggirkan tanpa kompensasi, tanpa perlindungan.

Angka yang Bicara: Negara Untung, Petani Tercekik

Ketimpangan ini jelas terlihat dalam data. Sejak 2019, produksi rokok nasional menurun tajam dari 356,5 miliar batang ke hanya sekitar 290 miliar batang pada 2024. Namun, penerimaan cukai justru naik drastis dari Rp165 triliun menjadi sekitar Rp240 triliun di periode yang sama.

Grafik ini menunjukkan paradoks antara produksi rokok yang menurun dan penerimaan cukai yang justru meningkat, mengindikasikan bahwa beban cukai naik drastis dan ditanggung industri tanpa perlindungan ke hulu (petani). | Diolah dari berbagai sumber

Sementara itu, indeks pendapatan petani tembakau anjlok dari angka dasar 100 (2018) ke sekitar 80 pada 2024. Artinya, sementara negara terus mengeruk pemasukan dari cukai, petani justru mengalami penurunan daya beli dan keuntungan.

Grafik kedua ini memperlihatkan penurunan indeks pendapatan petani tembakau sejak 2019, menggambarkan efek domino dari kebijakan fiskal yang tidak diimbangi perlindungan struktural. | Diolah dari berbagai sumber

Data di atas bukan sekadar tentang ketidakseimbangan—ini ketidakadilan. Negara menjadikan tembakau sebagai sumber pendapatan, namun gagal menjamin keberlangsungan hidup para produsen di tingkat akar rumput.