Kita hidup di zaman yang serba cepat, tapi lupa menoleh ke arah asal langkah.

KOSONGSATU.ID—Di mana kisah tentang siapa kita, dari mana kita datang, dan ke mana kita menuju — semuanya seperti ditulis orang lain. Sementara kita, bangsa Timur, sibuk menjadi penonton sejarah yang dulu pernah kita mulai.

Tapi dunia tidak perlu terus begini. Sebab kunci dari masa depan bukan terletak di Barat atau Timur, tapi di tangan mereka yang berani menulis ulang peta pikirannya sendiri.

Pendidikan: Mengembalikan Ingatan Kolektif

Langkah pertama merebut narasi adalah mengingat kembali siapa diri kita.

Selama ini, pendidikan kita terlalu sering menjadi cermin Barat. Kita mempelajari logika Aristoteles, tapi tidak mengenal logika Tan Malaka.
Kita menghafal teori sosial Durkheim, tapi melupakan kearifan Kiai Sholeh Darat.

Kita memuja Renaisans, tapi menutup mata pada zaman keemasan Baghdad, Bukhara, atau Demak.

Sekolah dan universitas di Timur seharusnya tidak hanya meniru, tapi mengkurasi dan mengontekstualkan ilmu. Bukan menolak Barat, tapi menyeimbangkan pandangan dunia.

Ilmu bukan milik bangsa mana pun. Tapi tafsirnya—itu yang menentukan siapa yang berkuasa atas makna.

Media: Dari Objek Jadi Subjek

Media adalah medan perang narasi. Selama berita tentang kita masih ditulis dari kacamata luar, kita akan terus tampil sebagai “yang eksotis”, “yang korup”, atau “yang tertinggal”. Padahal, di balik layar, jutaan anak muda di Asia, Afrika, dan Timur Tengah sedang menciptakan inovasi yang tak kalah hebat.

Kita perlu ekosistem media independen Timur — yang tidak sekadar meniru model CNN atau BBC, tapi membawa roh kultural kita sendiri: yang jujur, empatik, dan berpihak pada kemanusiaan.

Setiap liputan, setiap dokumenter, setiap artikel, adalah bagian dari perlawanan yang tenang tapi berdaulat: menulis diri sendiri tanpa izin dari siapa pun.

Teknologi: Menjadi Pemrogram Dunia

Kalau dulu penjajahan datang lewat peta dan senjata, hari ini penjajahan datang lewat data dan algoritma. Maka yang harus kita rebut bukan sekadar panggung media, tapi juga kode sumber masa depan.

Kita harus ikut menulis bahasa mesin — bukan sekadar menjadi pengguna. Bayangkan jika AI masa depan dilatih bukan hanya dengan citra Hollywood, tapi juga dengan naskah Jawa Kuno, hikayat Melayu, serat Suluk, dan manuskrip Islam Nusantara.

Bayangkan jika sistem digital dunia mengenal istilah “manunggaling kawula Gusti” atau “rahmatan lil ‘alamin” bukan sebagai legenda, tapi sebagai logika hidup.

Itulah bentuk paling modern dari dekolonisasi — ketika data pun punya jiwa.

Kedaulatan Narasi sebagai Tanda Peradaban

Said pernah menulis bahwa orientalisme bukan tentang kebencian, tapi tentang kekuasaan atas definisi. Selama kita tidak punya kekuasaan atas cara dunia mendefinisikan kita, maka kita masih hidup di bawah bayangan.

Karena itu, merebut narasi bukan perkara retorika — ia adalah syarat peradaban. Kita tak butuh menjadi Barat untuk menjadi modern.

Kita hanya perlu menjadi diri sendiri dengan keberanian penuh — menulis dengan pena kita, berpikir dengan bahasa kita, dan membayangkan masa depan dari tanah tempat kita berpijak.