Antara Citra, Hoaks, dan Realitas Kita Hari Ini
Pelajaran itu tak berhenti di abad ke-13. Hari ini pun sama.
Betapa banyak orang berjuang keras mempertahankan citra, bukan kebaikan sejati. Satu isu kecil, satu potong video yang dipelintir, bisa menghancurkan nama seseorang yang dibangun puluhan tahun.
Dulu, kata seorang guru, ada ulama besar di Indonesia yang langsung dibenci satu negeri hanya karena menikah lagi. Begitu rapuh nama baik itu. Begitu mudahnya ia runtuh hanya karena persepsi.
Kita hidup di zaman yang lebih parah: era pencitraan.
Banyak orang berlomba menampilkan versi terbaik dirinya di media sosial—padahal yang tampak sering kali bukan kenyataan. Filter foto, angle sempurna, editan cahaya—semuanya adalah cara baru untuk mempertahankan ilusi bahwa kita “terlihat baik”.
Padahal, sebagaimana pesan Syamsu Tabriz, tidak penting bagaimana dunia melihatmu—yang penting bagaimana Tuhan melihatmu.
Kebaikan Tak Butuh Panggung
Rumi belajar hal paling sulit malam itu: bahwa kehormatan sejati bukanlah tentang nama baik, melainkan hati yang baik. Kita pun seharusnya begitu.
Tak perlu sibuk memoles citra, tak perlu gelisah jika orang salah paham. Karena pada akhirnya, yang akan tetap bersama kita bukanlah reputasi, melainkan niat dan perbuatan baik yang kita lakukan diam-diam.
Jadilah baik. Tak perlu terlihat baik.***
Tinggalkan Balasan