Peneliti BRIN Amin Mudzakir menegaskan, narasi yang menyebut pesantren pro-kekerasan seksual adalah tuduhan ngawur yang lahir dari ketidaktahuan publik, sementara data justru menunjukkan sebaliknya.

KOSONGSATU.ID—Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Amin Mudzakir menyoroti maraknya framing yang menggambarkan pesantren sebagai tempat subur kekerasan seksual. Ia menyebut tuduhan semacam itu sebagai bentuk keignoranan publik terhadap perubahan besar yang terjadi di dunia pesantren.

“Saya bisa pastikan pikiran mereka itu sekarang sudah menjadi arus utama di pesantren, tentu dengan bentuk dan ekspresi yang berbeda-beda sesuai norma yang berlaku di sana. Jadi mereka yang menganggap pesantren pro-kekerasan seksual itu ignoran atau apa ya. Ignoran kok kebangetan,” tulis Amin, Senin (3/11).

Ia mencontohkan lahirnya para pemikir kesetaraan gender dari rahim pesantren seperti KH Husein Muhammad, Faqih Abdul Kodir, hingga Bu Nyai progresif Tutik N Jannah dari Pati, Jawa Tengah.

Serangan dari Influencer: Gembul dan Pandji

Pernyataan Menteri Agama Nasaruddin Umar yang menyebut kasus kekerasan di pesantren “sedikit tapi dibesar-besarkan media” memantik amarah para influencer. Youtuber Guru Gembul dan Pandji Pragiwaksono menuduh Menag menutupi skandal kemanusiaan.

Gembul mengutip data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) yang menyebut ada 130 laporan kekerasan di pesantren dalam enam bulan pertama 2025. “Bayangin ya, setiap dua hari sekali ada satu kasus. Masak dibilang sedikit?” ujarnya di kanal YouTube-nya.

Pandji menambahkan, kasus besar di Maros, Sulawesi Selatan, dan data JPPI 2024 yang mencatat 36 persen kekerasan di lembaga agama, membantah klaim Menag. “Kalau dibilang dibesar-besarkan, menurut saya itu tidak logis,” katanya, Selasa (28/10).

Data Faktual JPPI: Sekolah Justru Lebih Rawan

Namun, data resmi JPPI justru menunjukkan sekolah umum sebagai lokasi paling banyak kasus kekerasan, mencapai 60%, disusul luar sekolah 27 persen, dan pesantren hanya 15 persen.

“Kami menyayangkan masih adanya kekerasan di pesantren, tapi jumlahnya tidak dominan,” jelas Koordinator JPPI, Ubaid Matraji, pada 27 Desember 2024 lalu.

Ubaid menegaskan, lembaga berasrama memang memiliki risiko tersendiri karena aktivitas 24 jam, namun pengawasan guru dan sistem keagamaan di pesantren relatif lebih kuat.

Riset PPIM: Hanya 1,06 Persen Pesantren Rentan

Sementara itu, riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menemukan hanya 1,06% dari 43.000 pesantren yang tergolong memiliki kerentanan tinggi terhadap kekerasan seksual.

Peneliti PPIM, Windy Triana, menjelaskan kerentanan itu lebih sering dialami santri laki-laki (1,9 persen) dibanding santri perempuan (0,2 persen). “Proteksi lebih banyak diberikan kepada perempuan. Laki-laki dianggap bisa menjaga dirinya sendiri,” ujar Windy pada 8 Juli 2025 lalu.

Budaya maskulinitas beracun dan candaan seksual di kalangan santri laki-laki juga menjadi faktor yang membuat korban enggan melapor. “Padahal itu justru pintu masuk kekerasan,” lanjutnya.