Dampak Miris bagi Masyarakat

Dalam laporan “Nickel Unearthed: The Human and Climate Costs of Indonesia’s Nickel Industry” oleh Climate Rights International, ditemukan bahwa penambangan nikel di wilayah Maluku Utara telah menjadi salah satu pendorong utama deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati.

“Setidaknya 5.331 hektare hutan tropis telah ditebang di dalam konsesi penambangan nikel di Halmahera, yang mengakibatkan hilangnya sekitar 2,04 metrik ton gas rumah kaca (CO2e) yang sebelumnya tersimpan sebagai karbon di hutan tersebut,” tulis laporan tersebut.

Dalam hal ini, masyarakat yang bergantung pada alam dalam kehidupan sehari-hari juga terdampak. Perusakan hutan, akuisisi lahan pertanian, degradasi sumber daya air tawar, dan kerusakan perikanan oleh industri nikel telah mempersulit masyarakat yang mengadu nasib sebagai nelayan tradisional, petani, pembuat sagu, dan pemburu.

“Sebelum penambangan, stok ikan melimpah, lautnya jernih. Sekarang, saya tidak bisa menangkap ikan di dekat [IWIP]. Airnya kotor, dan keamanan mengusir kami. Pencemaran air berasal dari penambangan. Ada minyak di air dari mesin-mesin,” kata Max Sigoro, seorang nelayan Sawai berusia 51 tahun dari desa pesisir Gemaf di luar IWIP, dikutip dari CRI.

“Selain itu, air panas dari pembangkit listrik mencemari laut. Terkadang airnya berwarna kemerahan. Kami dulu mendayung perahu dekat pantai untuk menangkap ikan, sekarang kami harus pergi lebih jauh,” imbuhnya.

CRI mencatat, operasi penambangan dan peleburan nikel telah mengancam hak penduduk setempat untuk mendapatkan air minum yang aman dan bersih. Hal ini karena aktivitas industri dan penggundulan hutan mencemari jalur air yang menjadi tumpuan kebutuhan dasar masyarakat setempat.

Di sisi lain, warga masyarakat masih harus khawatir karena banjir semakin sering terjadi akibat penggundulan hutan oleh perusahaan penambangan nikel.

“Ini adalah solusi iklim yang tidak dapat diterima dan keliru untuk membangun pembangkit listrik tenaga batu bara baru untuk menggerakkan operasi pemrosesan nikel dan menebang hutan di area yang sangat luas untuk penambangan nikel,” kata Krista Shennum, peneliti di Climate Rights International.

Sementara itu, di pertambangan nikel lain di Maluku Utara, tepatnya Kawasi, masyarakat juga telah terdampak oleh pencemaran air. Karena pertambangan, air untuk kehidupan menjadi tercemar. Banyak warga, terpaksa tetap harus meminum dari sumber yang tercemar karena tak mampu beli air minum kemasan.

“Airnya terasa berbeda sekarang dan terkadang ada gelembung-gelembungnya. Itu membuat perut kami sakit,” kata penduduk di Kawasi, Nurhayati Jumadi, kepada media dikutip Sabtu, 7 Juni 2025.

“Tetapi saya tidak mampu membeli air minum kemasan, jadi kami tetap minum dari mata air (yang tercemar),” lanjutnya.