Kerusakan alam akibat aktivitas pertambangan di Indonesia kian parah. Pembangunan Ekonomi tak lagi berpihak kepada rakyat. Mursyid Tarekat Shiddiqiyyah, Syekh Muchtarullohil Mujtaba Mu’thi, pernah mengingatkan bahayanya ini kepada Presiden Prabowo Subianto.


KOSONGSATU.ID–Menurut World Research Institute (WRI), dalam rentang tahun 2001-2020, Indonesia menduduki negara yang mengalami kehilangan area hutan tertinggi di seluruh dunia—yakni seluas 1369.356 hektare.

WRI mencatat, hilangnya hutan tropis primer akibat tambang sangat memprihatinkan. Ini karena hutan hujan tropis primer merupakan salah satu daerah dengan kekayaan karbon dan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia.

Di tengah fenomena kehancuran tersebut, akhir-akhir ini aktivitas pertambangan nikel tengah menjadi sorotan, usai Raja Ampat—salah satu wilayah konservasi alam terbesar di Indonesia—menjadi wilayah ekspansi tambang. Kondisi ini menjadi perhatian ilmuwan global karena pemanfaatan sumber daya, terutama nikel, memiliki dampak yang mengerikan.

Salah satu aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat. | Dok. Geti Media

Menurut hasil studi dari Universitas Queensland (UQ), Australia, pembukaan lahan untuk pertambangan nikel bakal mengancam perubahan iklim yang parah.

Dr. Evelyn Mervine dari Fakultas Lingkungan Hidup UQ telah menganalisis data dari 481 lokasi tambang nikel internasional dan endapan yang belum dikembangkan. Ia menemukan jejak lahan penambangan nikel bisa 4 — 500 kali lebih besar dari yang dilaporkan sebelumnya.

“Nikel umumnya digunakan dalam infrastruktur energi terbarukan, seperti baterai dan baja tahan korosi, dan permintaan diperkirakan akan berlipat ganda pada tahun 2050 untuk mendukung teknologi rendah karbon,” katanya, seperti dilansir uq.edu.au.

“Namun, emisi karbon biomassa dari pembukaan lahan untuk pertambangan nikel hampir selalu diabaikan dalam penghitungan karbon, laporan keberlanjutan, dan keputusan pengadaan,” imbuh Dr. Mervine.

Dr. Mervine menyoroti perusahaan pertambangan harus menghindari pengembangan tambang baru di area yang memiliki ‘karbon yang tidak dapat dipulihkan’. Terutama karbon yang tersimpan dalam ekosistem seperti hutan hujan tua dan hutan bakau, yang jika ditebang tidak akan pernah dapat dikembalikan ke kepadatan biomassa aslinya.

Indonesia sendiri tercatat sebagai produsen nikel terbesar di dunia, sehingga ada banyak pertambangan di berbagai wilayah.

Di Maluku Utara, pertambangan di Kawasan Industri Weda Bay Indonesia (IWIP) disebut melanggar hak-hak masyarakat lokal, termasuk masyarakat adat—menurut Climate Rights International (CRI).

Pertambangan nikel tersebut menyebabkan penggundulan hutan yang signifikan, polusi udara dan air, dan mengeluarkan sejumlah besar gas rumah kaca dari pembangkit listrik tenaga batu bara, demikian dilansir cri.org.