Di tengah riuhnya perbedaan, Indonesia masih merawat toleransi dengan kehangatan. Pertemuan ulama Tasawuf dan Uskup Agung di Jakarta menjadi bukti indahnya harmoni lintas iman.
KOSONGSATU.ID—Toleransi, di negeri ini, bukan sekadar slogan yang terpajang di baliho-baliho kampanye atau lembaran dokumen negara. Ia hidup, dirawat, dan tumbuh dalam pertemuan-pertemuan yang tulus—seperti yang terjadi pada Rabu, 16 Juli 2025, di Gereja Katedral Jakarta.
Hari itu, suasana di balik dinding megah Katedral tak hanya dipenuhi doa, tetapi juga dialog. Uskup Agung Kardinal Ignatius Suharyo menerima kunjungan istimewa dari Syekh Muchammad Muchtarullohil Mujtabaa Mu’thi, Ulama Tasawuf sekaligus Mursyid Tarekat Shiddiqiyyah. Bersama rombongannya, Syekh Muchtar menyambangi Katedral Jakarta usai menghadiri Tasyakkuran Tahun Baru Hijriah di Bengkulu.
Pertemuan ini bukan sekadar saling sapa antar tokoh agama. Ia adalah perayaan dari sebuah nilai yang sering terpinggirkan dalam pusaran konflik dan perbedaan pandangan: toleransi. Kedua tokoh tak hanya berbagi salam, tapi juga menguatkan semangat kebersamaan lintas iman yang menjadi ruh bangsa Indonesia sejak awal berdiri.
Simbol paling kuat dari perjumpaan ini adalah Terowongan Silaturahim—sebuah lorong fisik dan spiritual yang menghubungkan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Diresmikan Presiden Prabowo Subianto pada 12 Desember 2024, terowongan itu tak hanya menyatukan dua bangunan ibadah besar, tetapi juga menjadi penanda bahwa di Jakarta—di jantung politik dan keragaman Indonesia—toleransi masih punya ruang.
“Terowongan ini membentuk medan positif yang menghubungkan antarhati, antar generasi, bahkan antara manusia dan Khalik,” ujar Syekh Muchtar—sebuah pernyataan yang lahir dari perenungan yang dalam. Bagi Syekh Muchtar, lorong ini bukan sekadar struktur, melainkan jalan batin yang menuntun kita menuju saling menghargai dan membantu.
Uskup Agung Kardinal Suharyo membalas dengan kelembutan serupa. “Saya tinggal mengatakan: idem. Kita satu gelombang. Terowongan ini menyempurnakan.” Kalimatnya ringkas, namun menggambarkan frekuensi nurani yang sama: bahwa kebaikan tak pernah mengenal sekat agama.
Pertemuan itu ditutup dengan doa dari Syekh Muchtar, “Semoga silaturahmi ke terowongan mega positif ini membawa berkah untuk semua. Rahmat dari dunia sampai akhirat.”
Di tengah kabar-kabar tentang polarisasi, radikalisme, dan ketegangan antar identitas, peristiwa ini adalah pengingat: bahwa akar toleransi di Indonesia belum tercerabut. Ia masih tumbuh, dijaga oleh hati-hati yang bersih dan pikiran yang terbuka. Dan selama itu masih ada, harapan bangsa ini tetap menyala.*
1 Komentar
Subchanalloh….
Alchamdulillah….
Astaghfirulloh…..