Penurunan tarif impor AS bukan kemenangan, melainkan jebakan ketergantungan. Indonesia harus melawan dengan membangun kekuatan ekspor mandiri dan strategi dagang yang berpihak pada kedaulatan ekonomi.


KOSONGSATU.ID—Keputusan Amerika Serikat menurunkan tarif impor untuk produk Indonesia dari 32 persen menjadi 19 persen semestinya bukan dirayakan sebagai kemenangan.

Di balik gestur manis Washington, tersembunyi jebakan klasik: akses pasar dibarter dengan ketergantungan baru. Ironisnya, alih-alih memperkuat posisi tawar, pemerintah justru menerima syarat-syarat yang melemahkan kedaulatan ekonomi nasional.

Kita harus menyebut ini dengan jujur: kesepakatan dagang antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Donald Trump lebih mirip penyerahan sepihak ketimbang perjanjian bilateral yang setara. Untuk menikmati potongan tarif, Indonesia diwajibkan membeli energi AS senilai USD15 miliar, produk pertanian USD4,5 miliar, serta 50 unit pesawat Boeing 777.

Sebagai “bonus”, pasar domestik dibuka selebar-lebarnya bagi produk pangan dan perikanan Amerika.

Ekonom Indef, Didin S. Damanhuri, menyebut ini bukan win-win, tapi win-loss. Bagi Amerika, ini jelas untung. Mereka dapat pembeli besar, lapangan kerja, dan perluasan pengaruh ekonomi. Bagi Indonesia, pasar lokal terancam, pelaku usaha kecil ditekan, dan lapangan kerja justru lari ke luar negeri.

Bangun Daya Tahan, Bukan Rayakan Diskon

Kita tak bisa lagi menoleransi pendekatan diplomasi dagang yang sempit, yang menganggap penurunan tarif adalah prestasi tanpa mempertimbangkan efek jangka panjangnya. Ini bukan sekadar soal angka, tapi soal arah dan keberanian menjaga kedaulatan ekonomi.

Persoalannya bukan Amerika menawarkan kesepakatan yang timpang. Persoalannya adalah ketika pemerintah menyambutnya tanpa daya tawar, tanpa garis merah, tanpa visi jangka panjang. Padahal, potongan tarif bukan hadiah, tapi alat tawar dalam permainan geopolitik global.

Lawan Bukan dengan Retorika, tapi Struktur Ekonomi Baru

Inilah waktunya Indonesia membangun perlawanan yang konkret. Bukan dalam bentuk pidato keras atau nasionalisme simbolik, tapi lewat arsitektur ekonomi yang mandiri. Para pakar telah menyerukan agar Indonesia membangun front kolektif bersama negara-negara BRICS, memperkuat tim negosiator dengan diplomat kawakan, ahli hukum internasional, dan pelaku usaha nasional.

Negosiasi dagang tak bisa diserahkan pada pendekatan transaksional semata. Kita butuh strategi industri jangka panjang: memperkuat hilirisasi, membangun zona industri berbasis UMKM, dan menciptakan ekosistem produksi nasional yang tahan banting. Kita butuh kekuatan ekspor baru, bukan ilusi akses pasar yang menguras sumber daya.

Sebagaimana diingatkan oleh pakar hukum internasional UI, Hikmahanto Juwana, bila tekanan AS dibiarkan, negara-negara lain akan ikut menuntut perlakuan serupa. Pasar kita bisa habis tanpa proteksi. Dan yang lebih mengerikan, kita kehilangan kendali atas arah pembangunan ekonomi sendiri.

Menggugat Strategi Dagang yang Tunduk

Saatnya bangsa ini berhenti bersikap reaktif dan inferior dalam relasi global.

Indonesia bukan pasar pasif yang bisa dikendalikan lewat diskon tarif dan kontrak besar-besaran. Kita adalah negara dengan sumber daya strategis dan populasi besar yang bisa menjadi kekuatan ekonomi dunia—jika dikelola dengan benar.

Melawan dominasi dagang Amerika tidak berarti memusuhi, tapi menuntut relasi yang setara.

Dunia sudah berubah. Kita tidak bisa terus memainkan peran sebagai pembeli, penerima, dan pengalah. Sudah waktunya Indonesia menyusun ulang strategi dagangnya, berdiri tegak di panggung global, dan berkata cukup.

Cukup sudah kita tunduk. Cukup sudah kita hanya jadi pasar.

Saatnya melawan dengan kemandirian.***