Luka Lama Bernama Kepemilikan
Mahfud MD menyebut pertanahan sebagai “lahan basah korupsi” — sejajar dengan pajak, bea cukai, dan pertambangan.
Ia menyinggung praktik serupa di berbagai daerah: Surabaya, NTT, Jambi — semua dengan pola yang sama. “Banyak orang kecil datang menangis karena tanahnya dirampas dan malah dipenjara,” katanya.
Pernyataan itu mengandung ironi yang nyaris purba: di negeri yang menyebut tanah sebagai “ibu pertiwi”, anak-anaknya justru diusir dari rahimnya sendiri.
Tanah, dalam kasus ini, bukan sekadar ruang hidup. Ia adalah cermin bagaimana kekuasaan menafsirkan keadilan.
Dan selama hukum masih bisa ditawar di balik meja, dokumen penjajah akan terus menang atas keringat rakyat yang menanam, membangun, dan bermimpi di atasnya.***
Halaman




0 Komentar