Pakar hukum pertanahan Dr. Sri Setyadji menegaskan hak prioritas atas tanah 220 hektare di Surabaya yang diklaim Pertamina seharusnya milik warga, karena telah lama dihuni dan bersertifikat sah dari BPN.
KOSONGSATU.ID–Sekitar 220 hektare tanah milik ratusan warga di Wonokromo, Dukuh Pakis, dan Sawahan, Surabaya tiba-tiba diklaim oleh PT Pertamina. Dasarnya? Dokumen peninggalan kolonial Belanda bernomor Eigendom Verponding 1305 tahun 1918.
Sementara warga telah menempati lahan itu selama puluhan tahun, membayar pajak, bahkan sebagian memegang Sertifikat Hak Milik (SHM) yang diterbitkan oleh BPN. Namun, penerbitan sertifikat baru mendadak dihentikan — seolah sejarah kolonial lebih sah daripada hukum republik.
“Klaim Pertamina atas tanah yang sudah dihuni sekian puluh tahun menjadi problematik hukum yang menarik perhatian publik,” ujar Dr. Sri Setyadji, pakar hukum pertanahan dari Untag Surabaya, dikutip dari beritajatim (13/11/2025).
Ia menegaskan, hak prioritas seharusnya berada di tangan warga yang telah menguasai dan menempati lahan itu secara sah. “Bekas hak Barat yang masa konversinya telah berakhir dan kini menjadi permukiman, hak prioritasnya ada pada masyarakat,” ujarnya tegas.
Menurutnya, aturan sudah jelas: dari UU Nasionalisasi 1958, UUPA 1960, hingga Keppres 32/1979. Semua regulasi itu mengakhiri hak-hak kolonial atas tanah Indonesia.
Maka, ketika Pertamina bersandar pada dokumen kolonial, yang digugat bukan sekadar bidang tanah, tapi juga martabat hukum negara.
Dari Surabaya ke Makassar: Pola yang Sama
Kasus serupa menimpa Jusuf Kalla (JK), mantan Wakil Presiden ke-6 dan ke-10 RI. Lahan miliknya seluas 16,4 hektare di Metro Tanjung Bunga, Makassar, disebut diserobot oleh PT Gowa Makassar Tourism Development (GMTD).
JK memiliki sertifikat resmi, tetapi tanah itu berpindah tangan lewat proses yang disebut mantan Menkopolhukam Mahfud MD sebagai “pola klasik mafia tanah”.
“Pak JK sudah beli tanah 35 tahun lalu, punya sertifikat. Tapi disuruh jaga ke orang, lalu orang itu menjual tanpa hak. Main dengan BPN, main dengan aparat. Keluarlah sertifikat baru,” kata Mahfud dalam podcast Terus Terang (11/11/2025).
Ia menyebut praktik seperti ini sebagai lingkaran setan: korban dipaksa menggugat ke pengadilan, dan akhirnya kalah di atas tanah yang ia beli sendiri. “Kalau sekelas JK saja bisa diperlakukan begitu, bagaimana nasib orang kecil?” ujarnya getir.
Negara dan Mafia di Meja yang Sama
Pakar hukum pidana Hudi Yusuf dari Universitas Bung Karno menilai, mafia tanah kini tak mengenal kasta sosial.
“Kalau orang sekelas JK bisa diperlakukan seperti ini, apalagi rakyat kecil. Ini menunjukkan pengawasan negara lemah dan praktik mafia tanah masih merajalela,” katanya.
Menurutnya, pemerintah harus menegakkan administrasi pertanahan yang transparan dan adil — agar sertifikat tak lagi menjadi alat dagang keadilan.
Pandangan senada datang dari Abdul Fickar Hadjar, pakar hukum Universitas Trisakti. Ia menegaskan, penyerobotan tanah bukan sekadar sengketa perdata, melainkan tindak pidana.
“Modusnya sering melibatkan penerbitan sertifikat ganda atau palsu dengan bantuan aparat pertanahan. Ini penyalahgunaan wewenang yang sistematis,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Bagi Fickar, akar masalahnya terletak pada birokrasi yang berliku. “Mereka yang punya akses dan uang bisa menguasai aset, sementara rakyat kecil terjerat prosedur,” katanya.
Reformasi agraria, katanya, bukan sekadar membagi tanah, tetapi membenahi moral di balik meja administrasi.




0 Komentar