Kapitalisme lahir dari ambisi manusia untuk merdeka secara ekonomi, namun berakhir menciptakan perbudakan baru di bawah kuasa modal, algoritma, dan keserakahan yang tak mengenal batas.
KOSONGSATU.ID—Di zaman ini, kita hidup di bawah naungan “kemajuan” yang gemerlap, tapi juga menakutkan. Dunia terasa semakin canggih, tapi manusia semakin gelisah. Kita dikelilingi oleh layar, algoritma, dan iklan yang terus membisikkan satu hal: beli, konsumsi, miliki lebih banyak.
Semuanya tampak modern, tetapi sesungguhnya kita masih berada dalam sistem kuno yang sudah berabad-abad mengatur dunia — sistem yang bernama kapitalisme. Ia lahir dari ambisi, tumbuh dari keserakahan, dan kini menjelma menjadi peradaban global yang mengatur segalanya, dari harga roti sampai arah kesadaran manusia.
Dari Revolusi Industri ke Revolusi Nafsu
Kapitalisme lahir di akhir abad ke-18, di tangan seorang filsuf ekonomi asal Skotlandia, Adam Smith. Dalam bukunya yang monumental, The Wealth of Nations (1776), Smith menggambarkan manusia sebagai homo economicus — makhluk yang digerakkan oleh kepentingan pribadi untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya.
Dalam logika Smith, keegoisan bukan dosa, tapi justru motor penggerak kemajuan. Setiap orang yang mengejar kepentingannya sendiri akan, tanpa disadari, menyejahterakan masyarakat melalui “tangan tak terlihat” pasar bebas. Pemerintah tidak perlu campur tangan, sebab pasar dianggap mampu menyeimbangkan dirinya sendiri.
Di sinilah akar kapitalisme tumbuh: keserakahan dilegalkan, bahkan dimuliakan.
Sistem ini menemukan momentumnya di masa Revolusi Industri Inggris. Pabrik-pabrik berdiri, mesin-mesin berputar, dan manusia berubah menjadi roda produksi. Demi efisiensi, anak-anak dan perempuan hamil dipekerjakan di tambang-tambang. Manusia diukur bukan dari kemanusiaannya, tapi dari nilai produksinya.
Kapitalisme menelanjangi manusia, mengubahnya menjadi sekadar tenaga, angka, dan statistik.
Karl Marx dan Pemberontakan Akal Sehat
Ketika dunia telah menjadi pabrik besar yang menelan kemanusiaan, lahirlah Karl Marx, yang menyaksikan langsung penderitaan kaum buruh di Eropa abad ke-19. Dalam Das Kapital (1848), ia menggugat Adam Smith dan sistem pasar bebas yang katanya “manusiawi” itu.
Bagi Marx, kapitalisme hanyalah bentuk baru dari perbudakan: manusia menjual tenaganya untuk bertahan hidup, sementara segelintir pemilik modal menumpuk keuntungan. Ia menyebut proses itu sebagai penghisapan manusia oleh manusia.
Marx memperingatkan bahwa kapitalisme mengandung benih kehancurannya sendiri: ketika kesenjangan makin melebar, krisis akan lahir dari perut sistem itu sendiri. Tapi, sebagaimana dicatat sejarah, kapitalisme tidak mati. Ia hanya berganti kulit — dari pabrik baja menjadi pasar global, dari cerobong asap menjadi server cloud.
Dan Marx sendiri akhirnya malah ‘kesasar’ ke alam pemikiran komunisme—yang tak kalah berbahaya dari kapitalisme.
Sukarno dan Peringatan dari Dunia Ketiga
Di Indonesia, kritik terhadap kapitalisme juga bergema sejak awal kemerdekaan. Sukarno, dalam Indonesia Menggugat dan pidato-pidato revolusionernya, menegaskan bahwa imperialisme modern tidak lagi datang dengan kapal perang, tapi dengan modal, investasi, dan utang.
Negara-negara industri Barat, kata Sukarno, menanamkan modal ke negeri-negeri miskin untuk menguasai pasar dan sumber daya. Itulah yang ia sebut distribusi dan perkembangbiakan kapital di negeri lain.
Dengan gaya lugasnya, Bung Karno menyebut sistem itu “usaha untuk membuat bangsa lain tergantung, agar modal mereka tidak beku.” Karena jika modal berhenti berputar, kapitalisme mati. Maka negeri-negeri Dunia Ketiga — seperti Indonesia — dijadikan tempat parkir modal, ladang tenaga murah, dan pasar konsumsi.
Ironisnya, setelah Sukarno tumbang pada 1965–1966, Indonesia justru kembali membuka pintu bagi modal asing. Kapitalisme yang dulu kita lawan, kini kita sembah dengan nama baru: investasi.
1 Komentar