Ketika buku berubah dari jendela ilmu menjadi alat bukti pidana, publik perlu bertanya: apakah demokrasi kita sedang berjalan mundur?
KOSONGSATU.ID—Buku semestinya jembatan pengetahuan. Namun, dalam beberapa bulan terakhir, polisi memperlakukannya layaknya ‘senjata berbahaya’. Peristiwa di Bandung, Jakarta, hingga Sidoarjo menunjukkan tren yang sama: buku dijadikan barang bukti demo yang berujung ricuh.
Di Bandung, Polda Jabar memamerkan deretan buku ketika menetapkan 42 tersangka kerusuhan 29–30 Agustus 2025. Di Jakarta, aparat Polda Metro Jaya menyita buku dari rumah Direktur Lokataru Foundation, Delpedro Marhaen, dengan tuduhan menghasut.
Sementara di Sidoarjo, Jawa Timur, 18 orang ditangkap Polda dan 11 buku ikut diamankan, termasuk karya Romo Magnis-Suseno. Bahkan seorang pegiat literasi di Kediri ikut diciduk hanya karena memiliki tiga buku di rumahnya.
Apakah bangsa ini benar-benar siap menganggap buku sebagai benda “berbahaya”?

“Absurd” dan “Lebay”
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyebut langkah ini absurd. Kata dia, buku hanya bisa jadi bukti bila dipakai secara fisik untuk melukai. “Kalau isinya dianggap mendorong orang berbuat kejahatan, ini absurd dan lebay,” tegasnya (19/9).
Namun, Heri Hartanto dari Universitas Sebelas Maret mengakui ada celah pasal 39 KUHAP yang memungkinkan buku disita. Tetapi, ia memberi catatan keras: harus ada bukti kuat bahwa buku itu benar dipakai menghasut kejahatan, seperti dalam kasus terorisme.
Dengan kata lain, tidak semua buku bisa serta-merta ditarik ke ranah pidana.
Anhar Gonggong: Sita Buku Romo Magnis, Picu Persoalan Baru
Kritik juga datang dari sejarawan Universitas Indonesia (UI), Anhar Gonggong. Ia menilai, penyitaan buku karya Frans Magnis-Suseno di Sidoarjo sebagai langkah gegabah.
“Beliau ini pastor, ahli filsafat, dan masih mengajar di STF Driyarkara. Kalau mau melihat buku, harus tahu juga isinya, jangan langsung disita begitu saja,” ujar Anhar (24/9).
Menurutnya, isi buku Romo Magnis justru mengkritisi kelemahan Karl Marx. “Kalau tidak tahu isinya lalu digerebek begitu saja, itu jadi persoalan,” lanjutnya.
Anhar menutup dengan penegasan bahwa tidak ada buku yang seharusnya disita dalam pengertian ilmu.
Tinggalkan Balasan