Terasa jelas, tapi begitu didefinisikan, isi kepala sering macet.
KOSONGSATU.ID—Pernahkah kita berpikir, apa sebenarnya waktu itu? Kita merasakannya setiap hari—melihat jam, menghitung hari, menunggu tanggal, merayakan tahun baru—tapi begitu seseorang bertanya “apa itu waktu?”, lidah seakan kelu.
Filsuf Santo Agustinus pernah berkata, “Jika tak seorang pun bertanya, aku tahu; tapi jika aku diminta menjelaskan, aku tak tahu lagi.” Sebuah pengakuan jujur yang mungkin juga terjadi pada kita. Selama tidak ada yang bertanya, rasanya kita paham betul. Tapi begitu diminta menjelaskan, maknanya menguap begitu saja.
Kebingungan semacam itu bukan hal baru. Sejak ribuan tahun lalu, manusia sudah berusaha memahami waktu: apa hakikatnya, apakah ia bergerak maju, berputar, atau bahkan diam? Pertanyaan itu melahirkan beragam pandangan yang bertentangan satu sama lain.
Linier dan Sirkuler: Dua Wajah Waktu
Sebagian filsuf klasik, seperti Isaac Newton, memandang waktu sebagai sesuatu yang linier—mengalir lurus dari masa lalu ke masa depan tanpa bisa kembali. Dalam pandangan ini, waktu bersifat absolut dan objektif. Ia terus berjalan, tidak peduli kita siap atau tidak.
Waktu tidak menunggu siapa pun. Dari konsep inilah lahir pepatah “time is money,” dan obsesi manusia modern terhadap efisiensi.
Namun, di sisi lain, ada pandangan berbeda: bahwa waktu tidak bergerak lurus, melainkan berputar. Filsafat Timur dan kebijaksanaan Jawa menyebut hidup ini “cokro manggilingan”—atau roda yang berputar, membawa manusia naik turun, jatuh bangun, silih berganti.
Dalam pandangan ini, waktu bersifat sirkuler. Apa yang pernah terjadi bisa terulang dengan cara lain.
Sejarah tidak berakhir. Ia berputar dalam pola. Maka, bagi yang gagal hari ini, selalu ada kesempatan esok—sebab roda waktu tak pernah berhenti berputar.
Ketika Waktu Hidup di Dalam Diri
Di antara dua kutub itu—waktu yang lurus dan waktu yang berulang—manusia mencoba mencari maknanya sendiri. Agustinus, dalam perenungannya yang panjang, menyimpulkan bahwa waktu sejatinya hidup di dalam kesadaran manusia.
Ia pun membedakan antara waktu objektif dan waktu subjektif.
Waktu objektif adalah yang kita lihat di jam tangan, di kalender, di detak jarum. Sedangkan waktu subjektif adalah yang kita rasakan dalam diri.
Bagi orang yang menunggu kabar, satu menit bisa terasa seperti sejam. Tapi, bagi orang yang bahagia, sejam bisa terasa seperti sekejap. Maka, waktu sejatinya bukan hanya milik benda-benda yang bergerak di langit, tapi juga denyut yang hidup di dalam diri kita.
“Mewaktu” dan Menjadi Diri Sendiri
Filsuf Jerman, Martin Heidegger, melangkah lebih jauh. Ia menyebut manusia harus “mewaktu”— atau mengada di dalam waktu. Artinya, kita bukan sekadar penumpang di arus waktu, melainkan makhluk yang menandai waktu dengan pilihan, kesadaran, dan tindakan.
Manusia yang hidup otentik adalah mereka yang sadar bahwa setiap detik adalah ruang untuk menjadi diri sendiri, bukan sekadar mengikuti arus atau meniru orang lain.
Bagi Heidegger, waktu bukan hanya sesuatu yang kita alami, tapi juga sesuatu yang kita wujudkan. Ia adalah panggung di mana manusia hadir, berpikir, dan memutuskan siapa dirinya di tengah arus kehidupan yang terus bergerak.




Tinggalkan Balasan