Bagi orang luar, 10 November adalah perang besar. Bagi para santri, itu cuma “tawuran” — tapi tawuran yang membuat sejarah bangsa bergetar.
KOSONGSATU.ID — Di Surabaya tahun 1945, tidak ada sirene tanda perang. Tidak ada strategi militer. Yang ada hanya teriakan, tekad, dan doa yang berbaur dengan asap mesiu.
“Orang Surabaya tidak menyebutnya pertempuran,” kata sejarawan NU almarhum Agus Sunyoto suatu kali dalam diskusi di Perpustakaan PBNU. “Mereka menyebutnya tawuran, karena tidak ada yang mengomandoi.”
Lucu, tapi juga getir. Karena dari “tawuran” itulah lahir salah satu peristiwa paling berdarah dalam sejarah republik — dan kelak dikenal dunia sebagai Pertempuran 10 November 1945.

Api yang Menyala dari Pesantren
Sebelum dentuman itu terdengar, Surabaya sudah bergolak. Fatwa para ulama se-Jawa dan Madura, yang kemudian dikenal sebagai Resolusi Jihad (22 Oktober 1945), menyebar cepat lewat pesan-pesan lisan dari pesantren ke kampung-kampung.
Isinya singkat tapi menggetarkan: membela tanah air dari penjajah hukumnya fardhu ‘ain. Artinya: siapa pun yang mati di medan perang, mati syahid.
Tak lama kemudian, pasukan Sekutu datang ke Surabaya membawa misi “mengamankan tawanan perang”, tapi rakyat tahu — di balik seragam Inggris, ada ambisi Belanda yang ingin kembali berkuasa.
Maka para santri pun turun. Tanpa latihan tempur, tanpa strategi militer. Hanya bermodal keyakinan dan bambu runcing.
Empat Hari yang Mengubah Dunia
Tanggal 26 Oktober 1945, ledakan pertama terdengar. Warga memutus listrik, telepon, dan air kota. “Rakyat menguasai Surabaya. Tidak ada komando, tapi semua bergerak,” kenang Agus Sunyoto.
Pertempuran berlanjut tanggal 27 dan 28 Oktober. Tentara Sekutu kocar-kacir, ribuan pasukannya tewas. Di hari keempat, 29 Oktober, gencatan senjata diteken di Gedung Internatio antara Soekarno dan komandan pasukan Inggris, Douglas Cyril Hawthorn, atas perintah Jenderal Mallaby.
Tapi takdir berkata lain — Mallaby tewas dalam kericuhan berikutnya, dan kematiannya memantik amarah Inggris.
Pada 9 November, Sekutu mengultimatum rakyat Surabaya: serahkan pelaku pembunuhan dan semua senjata dalam 24 jam. Rakyat menjawab dengan diam. Esok paginya, 10 November 1945, langit Surabaya terbakar.
Yang Bertempur Tanpa Nama
Yang menarik, hampir semua saksi mengatakan hal serupa: tak ada tentara reguler di garis depan. Yang ada adalah para santri, kiai, dan pemuda kampung. Mereka menamakan diri pasukan Hizbullah dan Sabilillah — dua sayap tempur yang dibentuk oleh pesantren-pesantren.
Mereka berperang tanpa bayaran. “Tahun 1945 sampai 1950, belum ada tentara yang digaji,” ujar Agus.
Yang menggerakkan mereka bukan seragam atau bintang di pundak, tapi keyakinan sederhana: mati di Surabaya berarti mati syahid. Bahkan warga non-muslim ikut bertempur: Konghucu, Kristen, Buddha — semua tersentuh oleh semangat jihad membela tanah air.
Kepolosan yang Menggetarkan
Di balik heroisme itu, tersimpan banyak kisah yang justru membuat tersenyum. Agus menuturkan, banyak santri yang tidak mengerti cara memakai senapan mesin, hingga memilih kembali ke bambu runcing karena “lebih mudah dipakai.”
Suatu kali, seorang kiai menyuruh santrinya melempar granat ke tank musuh. Santri itu benar-benar membuka pintu tank, melempar granat, lalu menunduk ke dalam untuk melihat hasilnya. Granat meledak, menghancurkan tank dan dirinya.
“Kepolosan yang membunuh, tapi sekaligus membuat merinding,” kata Agus.




Tinggalkan Balasan