Sultan Zainal Abidin Syah, penguasa Tidore, lebih memilih Republik daripada takhta. Lelaki yang dengan suara tenang menegaskan bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia.

KOSONGSATU.ID—Zainal Abidin Syah lahir di Soasiu, Pulau Tidore, 5 Agustus 1912. Ia tumbuh di masa kosongnya takhta Kesultanan Tidore sejak 1905. Hidupnya jauh dari kemewahan istana. Lebih dekat dengan hiruk pikuk birokrasi penjajah yang tengah berubah arah.

Ia menempuh pendidikan di Batavia dan Makassar, lalu bekerja sebagai pegawai pemerintahan di Ternate, Manokwari, hingga Sorong. Saat Jepang menduduki Hindia Belanda, ia diangkat menjadi kepala pemerintahan lokal di Tidore. Namun ia berselisih dengan penguasa militer Jepang dan akhirnya diasingkan ke Halmahera.

Dari pengasingan itu ia belajar dua hal: kekuasaan bisa berganti, tetapi rakyat dan tanah air tak boleh ditukar.

Sultan di Tengah Bayang Kolonial

Tahun 1946, ketika Belanda mencoba menghidupkan sistem kerajaan di Indonesia Timur, Zainal Abidin diangkat menjadi Sultan Tidore — mengakhiri kekosongan takhta selama empat dasawarsa.

Namun, alih-alih menjadi alat kolonial, Sultan muda ini menjadikan posisinya sebagai jembatan antara tradisi dan republik. Ia menolak tunduk pada Belanda dan menegaskan bahwa kedaulatan Tidore adalah bagian dari kedaulatan Indonesia yang baru lahir.

Dari sinilah ia masuk ke panggung politik nasional.

Suara Tidore untuk Irian Barat

Sejak abad ke-17, Tidore telah menjalin hubungan protektorat dengan wilayah Nugini Barat. Maka, ketika Belanda berusaha memisahkan Irian Barat dari Indonesia, Zainal Abidin bersuara lantang: sejarah telah lebih dulu mempersatukannya.

Dalam Konferensi Malino (1946) dan Konferensi Denpasar (1946), ia tampil sebagai wakil Indonesia Timur yang menolak ide federalisme dan pemisahan Papua.

“Papua adalah bagian dari Indonesia. Titik,” katanya, ketika Belanda mencoba memikatnya dengan jabatan tinggi dan janji otonomi. Ia menolak semua, memilih berdiri di sisi republik.

Gubernur Pertama Irian Barat

Pada 17 Agustus 1956, Presiden Soekarno membentuk Provinsi Perjuangan Irian Barat, untuk mempertegas klaim Indonesia. Dan sosok yang dipercaya memimpinnya adalah Sultan Zainal Abidin Syah.

Ia menjalankan tugas dari Soasiu, Tidore — simbol pertemuan sejarah antara dua tanah. Tahun 1961 ia dikukuhkan sebagai Gubernur tetap Irian Barat, lalu diperbantukan ke Departemen Dalam Negeri untuk mendukung Operasi Mandala (Trikora) di bawah Soeharto.

Dari ruang diplomasi hingga medan persiapan Trikora, ia menjadi wajah politik Indonesia di Papua: membela dengan kesetiaan, bukan senjata.

Dari Ambon ke Sonyine Salaka

Usai masa tugas, Sultan Zainal Abidin menetap di Ambon hingga wafat pada 4 Juli 1967.

Jenazahnya sempat dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kapahaha, lalu pada 11 Maret 1986 dipindahkan ke kompleks kerajaan Sonyine Salaka (Pelataran Emas) di Soa-Sio, Tidore.

Dari seorang birokrat republik, ia pulang sebagai sultan yang telah menunaikan janjinya kepada sejarah.

Arsitek Integrasi Papua

Warisan politiknya jelas:

  • Menolak federalisme bentukan Belanda.
  • Mempertahankan Irian Barat di forum diplomatik.
  • Menjadi penghubung sah antara Papua dan republik.
  • Memberi dasar legitimasi historis bagi Trikora.

Keputusan sederhana namun tegas itu menjadikannya arsitek moral integrasi Papua. Ia menunjukkan bahwa loyalitas bukan upacara, melainkan keberanian memilih sisi sejarah yang benar.

Pahlawan dari Timur

Sejak 2021, Pemerintah Kota Tidore dan Pemprov Maluku Utara berulang kali mengusulkan nama Sultan Zainal Abidin Syah sebagai pahlawan nasional. Baru pada 2025, Presiden Prabowo Subianto menandatangani Keppres No. 116/TK/2025 yang menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional bidang Perjuangan Politik dan Diplomasi.

Penghargaan itu bukan hanya milik pribadi, tetapi pengakuan atas suara wilayah timur dalam sejarah nasional — bahwa Maluku Utara, Tidore, dan Papua adalah jantung keindonesiaan yang tak pernah berhenti berdetak.

Warisan yang Hidup

Warisan Sultan Zainal Abidin bukan monumen, melainkan kesadaran. Bahwa Indonesia berdiri bukan karena satu ras, satu bahasa, atau satu pulau, melainkan karena keyakinan yang sama: merdeka bersama.

Di Tidore, kisahnya diceritakan dengan hormat — tentang sultan yang menyerahkan mahkota demi republik.

Dan di Papua, namanya hidup sebagai janji yang ditepati: integrasi yang lahir bukan dari perang, tetapi dari kesetiaan seorang pemimpin dari utara Maluku.***