Kala perempuan dilarang bersekolah dan ruang belajar dibatasi untuk laki-laki, seorang gadis dari Padang Panjang memilih melawan dengan cara yang paling sunyi: mendirikan sekolah. Ia bukan pejuang di medan perang, melainkan pejuang di medan pikiran.
KOSONGSATU.ID—Namanya Rahmah El Yunusiyyah. Dan hari ini bangsa mengingatnya sebagai Pahlawan Nasional 2025.
Rahmah El Yunusiyyah lahir pada 26 Oktober 1900 di Nagari Bukit Surungan, Padang Panjang, Sumatra Barat — sebuah tanah yang subur dengan tradisi ilmu dan dakwah.
Ia tumbuh dalam keluarga ulama: ayahnya, Haji Muhammad Yunus al-Khalidiyah, adalah qāḍī (hakim agama) dan alumni Makkah; ibunya, Rafiah, dikenal salehah dan keras mendidik anak-anaknya.
Lingkungan keluarga Rahmah mencerminkan perpaduan Islam dan adat Minangkabau. Ia menyaksikan bagaimana perempuan Minang memiliki posisi sosial yang kuat secara adat — sebagai pemilik rumah, pewaris harta, dan penjaga keluarga — namun di sisi lain, dalam pendidikan dan kehidupan keagamaan, perempuan justru dibatasi.
“Perempuan boleh pandai memasak dan menenun,” kata gurunya suatu hari, “tapi jangan terlalu banyak membaca.” Kalimat itu menempel di benak Rahmah muda — dan kelak menjadi bara yang menyalakan gerak hidupnya.

Ketika Sekolah Jadi Perlawanan
Awal abad ke-20, sistem pendidikan Hindia Belanda hanya membuka sekolah untuk kalangan elite atau laki-laki. Kaum perempuan pribumi dipinggirkan dari akses ilmu.
Rahmah kecil yang haus belajar hanya sempat bersekolah di Diniyyah School, lembaga yang didirikan oleh kakaknya, Zainuddin Labay El Yunusy.
Namun ketika kakaknya wafat muda, Rahmah merasa tanggung jawab moral berpindah ke tangannya: pendidikan untuk perempuan tidak boleh mati.
Pada 1 November 1923, di rumah kayu sederhana di Padang Panjang, ia membuka sekolah dengan nama Madrasah Diniyyah Putri.
Hanya berbekal 71 murid dan semangat tanpa dana, Rahmah memimpin langsung proses belajar mengajar.
Kurikulumnya berani untuk masa itu. Ada ilmu agama dan bahasa Arab, agar perempuan paham ajaran agamanya. Lalu, ilmu umum dan matematika, agar mereka mampu berpikir rasional. Ada juga keterampilan hidup, dari menjahit hingga pertanian.
Dan yang paling penting, pelatihan kepemimpinan perempuan — agar mereka berani berbicara di depan umum dan mengelola organisasi.
Langkah ini mengguncang pandangan masyarakat Minang saat itu.
“Sekolah perempuan? Untuk apa?” tanya sebagian tokoh adat.
Tapi Rahmah tetap melangkah. Ia menjawab dengan lembut: “Karena perempuan yang berilmu akan melahirkan generasi yang berilmu. Mendidik perempuan berarti mendidik bangsa.”
Sekolah Sebagai Revolusi Kultural
Rahmah memahami, perubahan tidak datang dengan kekerasan, tetapi dengan penguasaan ilmu dan kemandirian pikiran. Madrasah Diniyyah Putri menjadi eksperimen sosial yang menantang struktur kolonial dan patriarkal sekaligus.
Sekolah itu menggabungkan sistem pesantren, sekolah Belanda, dan madrasah modern. Para siswi tidak hanya menghafal kitab, tetapi juga berdiskusi, menulis, dan berorganisasi.
Gagasan Rahmah sejalan dengan semangat kaum pembaharu Islam Minangkabau seperti Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi dan Haji Abdul Karim Amrullah (ayah Buya Hamka), yang mendorong ijtihad dan pendidikan rasional.
Namun bedanya, Rahmah menempatkan perempuan sebagai subjek utama pembaruan. Baginya, kemajuan umat tidak akan tercapai jika separuh dari umat — kaum perempuan — dibiarkan buta huruf.




2 Komentar