Di balik upacara penghormatan untuk Soeharto di Istana Negara, suara lama dari Komnas HAM bergema kembali: luka sejarah yang belum sempat sembuh. Keluarga Pak Harto pun sadar pro-kontra itu bakal terus muncul.

KOSONGSATU.ID—Ketika Presiden Prabowo Subianto menetapkan Soeharto sebagai Pahlawan Nasional, sebagian rakyat menyambutnya sebagai rekonsiliasi. Namun, sebagian lain merasakannya sebagai pengkhianatan terhadap ingatan.

Sikap Keluarga Soeharto: Antara Syukur dan Kesadaran Pro–Kontra

Di tengah gelombang kritik dan sorotan publik, keluarga besar Soeharto memilih merespons dengan nada syukur dan menahan diri.

Putri sulung Pak Harto, Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut Soeharto, berbicara kepada wartawan di Istana Negara, Jakarta, usai upacara penganugerahan gelar Pahlawan Nasional pada Senin (10/11).

“Kami menghormati semua pandangan,” ujarnya. “Bapak bekerja untuk bangsa ini sejak muda, dari masa perjuangan hingga pembangunan. Kami hanya ingin mengenangnya dengan rasa syukur.”

Tutut menilai perbedaan pendapat di masyarakat wajar dalam negara yang majemuk. Ia juga menekankan bahwa keluarga tidak menyimpan dendam kepada pihak yang menolak gelar tersebut. “Yang penting, kita tetap satu sebagai bangsa,” tambahnya.

Nada serupa disampaikan Bambang Trihatmodjo, yang diwawancarai oleh media nasional di kompleks Cendana, Jakarta Pusat, pada hari yang sama. Ia menjelaskan bahwa penganugerahan itu merupakan hasil dari proses panjang — telah diajukan sejak masa Presiden SBY dan Jokowi — dan baru dikabulkan di era Prabowo.

“Kami bersyukur kepada Allah dan berterima kasih kepada Presiden Prabowo Subianto serta rakyat Indonesia,” ujarnya. “Ini bukan hadiah politik, tetapi pengakuan negara atas jasa Bapak bagi sejarah Indonesia.”

Sementara itu, Siti Hediati Hariyadi atau Titiek Soeharto, dalam unggahan di media sosial dan pernyataannya kepada wartawan di Padang Panjang, Sumatra Barat, mengaku haru dan bersyukur atas keputusan pemerintah.

“Tidak semua akan sepakat, dan itu wajar,” tulisnya. “Yang penting, kami mendoakan agar bangsa ini terus rukun.”

Suara keluarga Soeharto mencerminkan upaya menahan ketegangan dan mengembalikan perdebatan pada ruang syukur. Namun, di ruang publik yang lebih luas, perbedaan pandangan itu tetap menjadi cermin tarik-menarik antara ingatan dan rekonsiliasi — antara keinginan menutup luka lama dan kewajiban menjaga kebenaran sejarah.

Kritik Komnas HAM: Ujian Moral Bangsa

Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, menyebut keputusan gelar pahlawan untuk Soeharto bukan sekadar simbol politik, melainkan ujian moral bangsa terhadap sejarahnya sendiri.

“Penetapan ini mencederai cita-cita Reformasi 1998,” katanya dalam pernyataan resmi di Jakarta, Selasa (11/11). “Dan juga mencederai fakta sejarah dari pelbagai peristiwa pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa pemerintahan Soeharto, 1966–1998.”