Ketika akal dan algoritma mulai kehilangan arah, intuisi justru bisa jadi jalan pulang bagi manusia modern.

KOSONGSATU.ID — Di tengah banjir data dan tekanan untuk selalu berpikir rasional, manusia modern perlahan kehilangan kemampuan mendengarkan dirinya sendiri. Kita diajari untuk percaya pada statistik, bukan pada keheningan. Didorong untuk cepat, bukan dalam. Akibatnya, banyak yang merasa hidupnya efisien tapi kosong. Serba tahu, tapi tak mengerti.

Padahal, jauh sebelum dunia dikuasai algoritma, para pemikir besar telah bicara tentang kekuatan lain dalam diri manusia: intuisi. Henri Bergson di Barat dan Imam Abu Hamid Al-Ghazali di Timur sama-sama meyakini bahwa pengetahuan sejati tak hanya lahir dari otak, tapi juga dari hati yang peka dan jujur.

Henri Bergson dan Pengetahuan yang Terasa, Bukan Dihitung

Filsuf Prancis Henri Bergson (1859–1941) melihat kesalahan besar dunia modern: manusia terlalu percaya pada analisis, tapi melupakan pengalaman hidup yang mengalir. Dalam karyanya Time and Free Will (1889), ia membedakan dua jenis waktu — waktu mekanis yang terukur, dan waktu batin (durée) yang kita alami dalam kesadaran.

Bagi Bergson, sains dan logika hanya memotret dunia dari luar. Tapi intuisi menyelami dari dalam. Ia bukan perasaan spontan, melainkan bentuk pengetahuan yang muncul dari pemahaman total terhadap sesuatu. Dengan intuisi, kita tak lagi “mengamati” realitas, melainkan “menyatu” dengannya.

Karena itu, intuisi bagi Bergson bukan musuh rasionalitas, tapi justru pelengkapnya. Logika memberi struktur, intuisi memberi makna. Tanpa intuisi, kita hanya menghitung, tak pernah benar-benar mengerti.

Al-Ghazali dan Cahaya Ilham dalam Hati yang Bersih

Sembilan abad sebelum Bergson, Imam Al-Ghazali (1058–1111) sudah melewati perjalanan batin yang serupa. Dalam Al-Munqidz min al-Dalal (Penyelamat dari Kesesatan), ia menceritakan krisis spiritualnya: setelah bertahun-tahun belajar logika, filsafat, dan ilmu kalam, ia justru merasa jauh dari kebenaran.

Al-Ghazali akhirnya menemukan bahwa akal punya batas. Di luar batas itu, ada wilayah hati — tempat cahaya Ilahi menyingkap kebenaran melalui kasyf (penyingkapan batin). Ia menyebutnya ilham, semacam intuisi spiritual yang datang kepada jiwa yang bersih dari ego dan kesombongan.

Dalam pandangan Al-Ghazali, ilham bukan sekadar perasaan, melainkan pengetahuan yang lebih tinggi — hasil dari proses penyucian diri. Maka, intuisi bukan jalan pintas, melainkan jalan panjang yang hanya bisa dilewati oleh orang yang jujur mencari kebenaran, bukan sekadar kemenangan argumen.

Kini, di abad ke-21, ketika hidup dikendalikan oleh notifikasi, deadline, dan angka-angka analitik, gagasan dua pemikir lintas zaman ini terasa seperti panggilan pulang. Bergson mengingatkan agar kita kembali merasakan waktu sebagai pengalaman, bukan target. Al-Ghazali mengajak kita memurnikan hati agar bisa menerima ilham.

Intuisi bukan sesuatu yang mistik atau anti-ilmu. Ia adalah kecerdasan yang tak bisa diukur, tapi bisa dirasakan — lahir dari kesadaran yang hening, jujur, dan hadir sepenuhnya.

Dan mungkin, justru di dunia yang semakin keras kepala pada logika, intuisi adalah bentuk kebijaksanaan paling rasional yang tersisa.***