Tahun 2025 ini Indonesia menobatkan sepuluh Pahlawan Nasional baru yang mencerminkan keberagaman perjuangan dan wajah kebangsaan yang terus hidup.
KOSONGSATU.ID—Tahun ini, Indonesia menambah sepuluh nama baru dalam daftar Pahlawan Nasional. Mereka datang dari lintas zaman dan latar: ulama, sultan, diplomat, aktivis buruh, hingga guru bangsa. Sebagian sudah legendaris, sebagian lagi baru dikenal publik. Tapi, semuanya menyimpan satu pesan: cinta tanah air punya banyak wajah.
Gus Dur: Kiai yang Mengajarkan Kemanusiaan

Abdurrahman Wahid atau Gus Dur bukan sekadar Presiden ke-4 Republik Indonesia. Ia adalah simbol kebebasan berpikir dan pluralisme.
Lahir di Jombang pada 1940, Gus Dur tumbuh dalam tradisi pesantren dan pendidikan Timur Tengah, lalu memimpin Nahdlatul Ulama dan mendirikan PKB.
Sebagai presiden pasca-Orde Baru, ia membuka jalan bagi demokrasi, membebaskan pers, dan menghapus diskriminasi terhadap etnis Tionghoa.
Gus Dur menulis sejarah dengan caranya sendiri: menjadi kiai yang mengajarkan kemanusiaan di atas politik. Ia menolak menjadi sekadar simbol agama — ia memilih menjadi jembatan bagi sesama.
Soeharto: Antara Pembangunan dan Bayang-Bayang Masa Lalu

Nama Jenderal Besar Soeharto mungkin paling dikenal di antara sepuluh pahlawan baru ini — sekaligus paling kontroversial.
Lahir di Yogyakarta pada 1921, Soeharto memimpin Indonesia selama 32 tahun, membawa stabilitas ekonomi dan pembangunan masif.
Ia menata birokrasi, memperluas infrastruktur, dan mengantar Indonesia pada masa pertumbuhan yang cepat.
Namun, di balik gelar “Bapak Pembangunan”, tersimpan pula jejak luka hak asasi manusia dan korupsi sistemik.
Penetapannya sebagai Pahlawan Nasional 2025 memunculkan perdebatan: bagaimana bangsa ini menakar warisan seorang pemimpin — antara kemajuan dan kesalahan sejarah.
Marsinah: Suara dari Lantai Pabrik

Tidak banyak yang tahu, perjuangan buruh di Indonesia pernah punya wajah seorang perempuan muda bernama Marsinah.
Lahir di Nganjuk, bekerja di pabrik jam tangan Sidoarjo, ia menjadi aktivis buruh yang menuntut keadilan upah pada 1993. Beberapa hari setelah aksi mogok, Marsinah ditemukan meninggal dunia — tubuhnya penuh luka.
Kasusnya tak pernah tuntas, tetapi semangatnya melintasi generasi. Kini, tiga dekade kemudian, negara akhirnya mengakui keberanian itu.
Marsinah menjadi simbol perjuangan perempuan dan buruh, bukti bahwa suara rakyat kecil pun bisa menggetarkan sejarah.
Mochtar Kusumaatmadja: Sang Diplomat Laut Nusantara

Jika Indonesia kini diakui dunia sebagai negara kepulauan, itu berkat kerja panjang seorang profesor hukum laut: Mochtar Kusumaatmadja.
Sebagai Menteri Kehakiman dan kemudian Menteri Luar Negeri (1970–1988), ia memperjuangkan konsep archipelagic state hingga diakui PBB melalui Konvensi Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
Kerja diplomatiknya menambah sepertiga luas wilayah kedaulatan laut Indonesia.
Mochtar adalah contoh pahlawan dengan pena dan akal, bukan senjata. Ia menunjukkan bahwa diplomasi juga medan perjuangan — di mana kedaulatan bisa dimenangkan dengan ilmu dan nalar.




Tinggalkan Balasan