Jauh sebelum ChatGPT lahir, manusia Nusantara sudah punya “AI” sendiri—dalam bentuk primbon, hitungan waktu, dan bahasa kuno yang menyimpan algoritma kehidupan.

KOSONGSATU.ID — Penggunaan Artificial Intelligence (AI) ternyata bukan hal baru bagi manusia Nusantara. Menurut pakar IT Vidia Utama Wahyudi Agustiono, Ph.D., konsep dasar AI sudah diterapkan leluhur kita ribuan tahun lalu melalui cara mereka membaca alam dan menghitung waktu.

“Primbon sendiri masuk ke dalam kategori AI, meski belum secanggih AI modern yang memakai algoritma komputer. Primbon menggunakan perhitungan manual untuk memprediksi dan mengambil keputusan,” ungkap Wahyudi dalam Seminar Informatika Bela Negara di UPN Veteran Jawa Timur, pada Jumat, 11 Agustus 2023 lalu.

Ia mencontohkan bagaimana nenek moyang Nusantara memetakan hubungan antara waktu, musim, dan kejadian alam. Pola itu kemudian dibukukan, menjadi sistem pengetahuan terstruktur untuk memandu kehidupan sehari-hari.

“Contoh saja ChatGPT, dia bisa menulis karena dilatih dengan data tulisan masa lalu,” tambahnya.

Ilustrasi memahami Primbon Jawa. – primbon.com

Ketika AI Bertemu Manuskrip Kuno

Pandangan senada datang dari filolog Jawa Kuno dan Sansekerta, Prof. Manu J. Widyaseputra. Ia mengutip hipotesis ilmuwan Rick Briggs dalam artikelnya tahun 1985, bahwa bahasa-bahasa kuno seperti Sanskerta punya potensi besar untuk diterapkan dalam sistem AI karena struktur gramatikalnya yang ilmiah dan presisi.

“Sayangnya, kekayaan alami ini tidak dipelihara dengan baik. Pemerintah tak pernah sungguh-sungguh merawat bahasa daerah. Sekian banyak orang di Senayan tidak tahu peradabannya sendiri,” ujar Prof. Manu dalam pertemuan dengan PANDI tahun 2021.

Ia menegaskan, banyak naskah Jawa Kuno yang sebenarnya menyimpan informasi teknologi tingkat tinggi. “Kalau kita tidak paham bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno, jangan harap menemukan makna. Data banyak, tapi perhatiannya yang kurang,” tuturnya.

Bahasa Kuno sebagai “Kode” AI

Pakar teknologi informasi Prof. Eko Indrajit menilai, apa yang disampaikan Prof. Manu membuka wawasan baru tentang hubungan antara bahasa dan kecerdasan buatan.

“Bahasa yang disebut primitif itu justru memperlihatkan keadaban. Potensinya jauh lebih besar daripada sekadar untuk kebutuhan AI,” ujar Prof. Eko.

Menurutnya, bahasa Sanskerta bisa berfungsi bukan hanya sebagai alat komunikasi manusia, tapi juga sebagai sistem sandi atau bahasa tingkat tinggi untuk berinteraksi dengan mesin. “Bahasa ini efisien, sistematis, dan kaya gramatikal. Ia bisa menjadi jembatan antara instruksi manusia dan mesin komputer,” jelasnya.

Ilustrasi.

Nusantara, Pusat Peradaban Pengetahuan

Dicky Zainal Arifin atau Kang Dicky Nusantara pernah menyebut adanya Prasasti Diransa Buaya yang menandakan peradaban besar bermula dari Nusantara. Pendapat ini sejalan dengan kesaksian Frank Joseph Hofl, asisten mendiang Arysio Santos—penulis buku Atlantis: The Lost Continent Finally Found—yang meyakini bahwa sumber peradaban dunia berasal dari kawasan Asia Tenggara, terutama Indonesia.

“Saya percaya bahwa peradaban dunia, lahirnya peradaban, berasal dari Indonesia,” tegasnya.

Jika Silicon Valley membangun mesin dengan otak, manusia Nusantara membangun mesin dengan hati. Di Barat, AI dipakai untuk efisiensi. Di Timur, AI diciptakan untuk keberkahan.

Bagi leluhur kita, kecerdasan buatan bukanlah cara menyaingi Tuhan, melainkan cara mengingat-Nya.***