Dari Laskar Hizbullah hingga Pembaharu Pesantren, kiprahnya menegaskan makna sejati perjuangan santri.
KOSONGSATU.ID–KH. Muhammad Yusuf Hasyim lahir pada 3 Agustus 1929 di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur. Ia adalah putra bungsu pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan Pesantren Tebuireng, KH. Hasyim Asy’ari, dengan Nyai Nafiqoh.
Namun meski berasal dari keluarga ulama besar, Yusuf Hasyim tumbuh sederhana dan enggan menonjolkan garis keturunannya. Dalam catatan NU Jombang, ia bahkan lebih suka dipanggil Pak Ud, bukan Gus atau Kiai.
Sejak usia 12 tahun, Yusuf muda memilih merantau untuk menimba ilmu ke berbagai pesantren: Al-Quran Sedayu Gresik, Krapyak Yogyakarta, hingga Pondok Modern Gontor Ponorogo. Langkah itu menempanya menjadi sosok santri yang terbuka, disiplin, dan berpikiran luas.
Santri yang Turun ke Medan Perang
Perjuangan KH. Yusuf Hasyim melampaui batas pesantren. Saat fatwa Resolusi Jihad dikumandangkan pada 22 Oktober 1945, ia bergabung dalam Laskar Hizbullah dan dipercaya sebagai Komandan Kompi Hizbullah Jombang.
Ia turut memimpin pertempuran di Gunungsari, Surabaya — wilayah yang kini menjadi markas Kodam V/Brawijaya. Dalam kontak senjata di Desa Nglaban, Cukir, peluru sempat menembus bajunya dan ia sempat pingsan berjam-jam, namun selamat.
Ketika Hizbullah dilebur ke Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 1947, ia menjadi Letnan Satu Batalyon Condromowo. Dua tahun kemudian, Yusuf Hasyim kembali menunjukkan keberaniannya dalam pemberontakan PKI Madiun 1948, saat ia memimpin pasukan yang menyelamatkan KH. Imam Zarkasyi, pendiri Gontor, dari upaya penculikan.
“Bukan hanya tokoh pesantren atau tokoh agama, beliau adalah sosok pejuang sejati,” ujar Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur (9/11/2025).
Pembaharu Pendidikan Pesantren
Pada 1965, Yusuf Hasyim memimpin Pesantren Tebuireng menggantikan kakaknya, KH. Abdul Wahid Hasyim. Di bawah kepemimpinannya selama lebih dari empat dekade, Tebuireng menjadi pelopor integrasi antara pendidikan agama dan umum.
Ia mendirikan Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) pada 1967, disusul SMP-SMA A. Wahid Hasyim pada 1975, dan Ma’had Aly Hasyim Asy’ari pada 2006 — lembaga tinggi studi hadits yang melanjutkan tradisi keilmuan sang ayah.
Sebagai Sekjen PBNU (1967–1971), Yusuf Hasyim juga memperkuat posisi NU sebagai benteng ideologis Islam di tengah ancaman komunisme. Ia dikenal tegas menolak penyusupan paham ekstrem ke lingkungan pesantren.
Politikus, Pejuang, dan Pendakwah di Layar Lebar
Selain di dunia pesantren, KH. Yusuf Hasyim aktif dalam politik kebangsaan. Ia sempat duduk di DPR RI melalui Fraksi Utusan Daerah, kemudian bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Menariknya, pada 1985 ia tampil di film Sembilan Wali, memerankan Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim) — menunjukkan cara uniknya berdakwah lewat media populer.
Warisan Perjuangan dan Pengakuan
KH. Yusuf Hasyim wafat pada 14 Januari 2007 di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya, akibat radang paru-paru dan gagal napas akut. Ribuan orang mengiringi kepergiannya menuju makam di kompleks Tebuireng.
Beberapa bulan kemudian, Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) menandai pusaranya dengan simbol bambu runcing — tanda kehormatan bagi pejuang yang dimakamkan di luar Taman Makam Pahlawan. Ia juga menerima Bintang Gerilya dan Satya Lencana Kesetiaan dari negara.
Kini, namanya kembali mengemuka. Pemerintah tengah mengusulkan KH. Muhammad Yusuf Hasyim sebagai Pahlawan Nasional 2025, penghormatan atas kiprahnya sebagai santri pejuang, pembaharu pendidikan, dan penjaga moral kebangsaan.***




1 Komentar