Delapan puluh tahun lalu, fatwa para ulama mengguncang dunia: “Membela kemerdekaan adalah jihad fi sabilillah.” Dari Bubutan, Surabaya, 21-22 Oktober 1945, Resolusi Jihad memantik pertempuran 10 November dan menegaskan peran santri sebagai penjaga negeri. Kini, jihad itu belum selesai — hanya berubah bentuk.
KOSONGSATU.ID—Indonesia saat itu hanyalah republik yang baru berumur tiga bulan. Belanda datang bersama Sekutu, hendak merebut kembali tanah jajahan. Rakyat bingung, tentara belum terbentuk, dan ancaman mengintai dari segala penjuru.
Di tengah situasi genting itu, KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah, dan para kiai berkumpul di Bubutan, Surabaya. Pertemuan dua hari itu, 21–22 Oktober 1945, melahirkan Resolusi Jihad: sebuah fatwa bahwa mempertahankan kemerdekaan adalah kewajiban agama.
“Membela tanah air adalah bagian dari iman,” kata Kiai Hasyim.
Fatwa itu bukan sekadar seruan perang, tapi seruan kesadaran: bahwa kemerdekaan bukan hadiah, melainkan amanah.
Dan sejak hari itu, pesantren menjadi benteng terakhir republik. Para santri meletakkan sejenak kitab dan papan tulis, turun ke jalan, bergabung dengan arek-arek Surabaya.
Ketika Doa Menjadi Senjata
Para santri datang dengan bekal doa dan bambu runcing. Mereka membaca Surat Al-Anfal sebelum bertempur, dan takbir menggema di antara dentuman meriam. Pertempuran 10 November 1945 menjadi saksi: santri bukan hanya murid ilmu, tapi juga penjaga martabat bangsa.
Dalam sejarah dunia modern, jarang ada perang kemerdekaan yang disulut oleh fatwa ulama. Namun di Indonesia, Resolusi Jihad membuktikan bahwa spiritualitas bisa menjadi energi politik yang luar biasa — kekuatan yang menumbangkan rasa takut dan menegakkan harga diri bangsa.
Dari Resolusi ke Revolusi Moral
Kini, delapan dekade berlalu. Santri tidak lagi berperang dengan bambu runcing.
Namun bangsa ini menghadapi musuh yang tak kalah berbahaya: ketamakan, kebodohan, disinformasi, korupsi, dan hilangnya moralitas.
Di sinilah jihad santri masa kini harus menemukan relevansinya.
Kalau dulu santri menolak penjajahan asing, kini santri harus melawan penjajahan batin — sistem yang membuat manusia lupa jati diri, terjebak dalam arus konsumerisme dan ketidakjujuran.
Kalau dulu fatwa melahirkan perlawanan fisik, kini ia harus melahirkan revolusi akhlak dan intelektual. “Santri zaman dulu berperang dengan bambu runcing. Santri zaman kini harus berperang dengan ilmu dan integritas,” kata KH. Mustofa Bisri alias Gus Mus.
Santri Digital, Garda Baru Peradaban
Dulu santri menyalakan api kemerdekaan dari surau dan pesantren. Hari ini, santri harus menyalakan api peradaban dari ruang digital dan dunia ilmu.
Di tengah banjir informasi, santri masa kini harus jadi penjaga kebenaran. Bukan ikut menyebar kebohongan, tapi menghadirkan narasi yang jernih, beradab, dan mencerahkan.
Pesantren yang dulu melahirkan pejuang bersarung kini melahirkan sarjana, penulis, aktivis sosial, inovator, dan kreator konten yang menanamkan nilai kejujuran dan welas asih di tengah dunia yang bising.
Jihad hari ini bukan lagi melawan tentara asing, tetapi melawan kebodohan dan ketidakadilan sosial. Dan di medan ini, santri kembali memegang peran strategis — sebagai penerus spirit Bubutan 1945.
Tinggalkan Balasan