Dunia modern mungkin mengira algoritma lahir di Barat, padahal cara berpikir komputasional yang menggerakkan seluruh teknologi hari ini berakar dari tangan dan pikiran seorang ilmuwan Muslim Timur bernama Al-Khwarizmi di Baghdad abad ke-9.


“Setiap masalah punya jalan keluar — asal dijalani dengan urutan yang benar.”Al-Khwarizmi, Baghdad, abad ke-9 Masehi.


KOSONGSATU.ID—Jauh sebelum Bill Gates mendirikan Microsoft atau Alan Turing menulis teori mesin cerdas, dunia sudah mengenal cara berpikir algoritmik. Bukan dari Barat, melainkan dari Timur.

Sekitar tahun 820 Masehi, di jantung Kekhalifahan Abbasiyah, seorang ilmuwan Persia bernama Muḥammad ibn Mūsā al-Khwarizmi bekerja di Bayt al-Hikmah, “Rumah Kebijaksanaan” di Baghdad. Di sanalah ia menulis dua kitab yang akan mengubah cara manusia menghitung, berpikir, bahkan mencipta mesin di masa depan:

Pertama, Kitāb al-Mukhtaṣar fī Ḥisāb al-Jabr wa’l-Muqābala — “Buku Ringkas tentang Perhitungan dengan Penyempurnaan dan Penyeimbangan.”

Dan kedua, Kitāb al-Jam‘ wa-l-Tafrīq bi-ḥisāb al-Hind — “Buku Penjumlahan dan Pengurangan menurut Metode India.”

Dari dua kitab inilah lahir dua kata yang menguasai dunia modern: Aljabar (al-jabr) dan Algoritma (al-Khwarizmi).

Aljabar bukan sekadar rumus, tapi tata berpikir Timur

Dalam al-Jabr, Al-Khwarizmi tidak sedang mengutak-atik angka. Ia sedang menyusun logika keseimbangan, cara berpikir yang sangat khas dunia Timur — harmonis, teratur, dan penuh kesadaran terhadap hukum keseimbangan alam.

Konsep al-jabr (penyempurnaan) berarti “mengembalikan yang hilang agar utuh kembali”. Sementara al-muqābala (penyeimbangan) berarti “menyamakan dua sisi agar adil dan setara.”

Itulah struktur berpikir yang kelak menjadi dasar aljabar: menyusun, menyeimbangkan, memulihkan.

Dalam setiap rumus matematikanya, Al-Khwarizmi sedang mengajarkan bahwa kebenaran lahir dari keseimbangan. Prinsip yang sama dengan hukum kosmis dalam teologi Islam maupun filsafat Jawa: harmoni adalah jalan kebenaran.

Algoritma: ketika nama berubah, tapi maknanya tetap Timur

Seratus tahun setelah wafatnya Al-Khwarizmi, karya-karyanya diterjemahkan ke bahasa Latin di Toledo dan Cordoba — dua kota yang menjadi jembatan peradaban Islam dan Eropa.

Salah satu terjemahannya berjudul Algoritmi de numero Indorum — “Algoritmi tentang Seni Perhitungan Bangsa India.” Dari situlah lahir kata “algorithm”.

Artinya, kata “algorithm” sebenarnya adalah bentuk Latin dari “Al-Khwarizmi”. Ia bukan konsep Eropa, melainkan nama orang Timur yang ilmunya ditranskripsi.

Eropa kemudian mengadopsi seluruh sistem berhitung India-Arab: angka 0–9, sistem desimal, dan cara berpikir prosedural. Selama berabad-abad, buku terjemahan karya Al-Khwarizmi digunakan di universitas-universitas Eropa sebagai teks utama matematika.

Namun seiring waktu, nama sang penemu memudar. Algoritmi tak lagi dianggap nama orang, melainkan istilah teknis. Timur lenyap, logikanya tinggal.

Barat mengambil, Timur dilupakan

Di puncak Renaisans, Eropa menyebut logika prosedural itu sebagai “penemuan baru”. Padahal, semua langkahnya sudah diajarkan Al-Khwarizmi seribu tahun sebelumnya — bahkan dengan filosofi yang lebih dalam.

Bagi Al-Khwarizmi, menyusun algoritma bukan soal mesin, tapi soal meniru ketertiban ciptaan Tuhan. Setiap langkah dalam perhitungan adalah refleksi keteraturan kosmos: satu hukum yang berlaku bagi bilangan, alam, dan manusia.

Barat mengadopsi logikanya, tapi menanggalkan ruhnya. Ilmu yang dulu lahir dari kesadaran spiritual kini menjadi mesin dingin tanpa nurani.

Komputer modern hanyalah kelanjutan dari metode Al-Khwarizmi — tetapi kehilangan kesadarannya akan asal-usul etis dan spiritual dari logika itu sendiri.