Jauh sebelum era komputer, Prabu Jayabaya sudah menulis tentang “wong cerdas saka barang mati” — ramalan yang kini terasa nyata di tengah kemunculan Artificial Intelligence atau AI.

KOSONGSATU.ID—Delapan abad lalu, Prabu Jayabaya, Raja Panjalu atau Kediri (1135–1157), menulis nubuat yang terasa menggema kembali di abad ke-21. Dalam Jangka Jayabaya, ia menyinggung perubahan zaman menuju Kaliyuga—masa kegelapan yang penuh kekacauan dan keajaiban—di mana “barang mati” bakal melahirkan “orang cerdas”.

“Wong kang cerdas bakal muncul saka barang mati.”

Kalimat itu, yang dulu terasa misterius, kini seolah menemukan bentuknya dalam kecerdasan buatan (Artificial Intelligence). Mesin dan algoritma yang dulunya tak bernyawa, kini mampu berpikir, menulis, bahkan berdebat dengan manusia.

“Wong Tanpa Raga” dan Dunia Digital

Jayabaya juga menulis tentang “wong tanpa raga”—orang yang ada tapi tak berwujud.

“Donya bakal dikuasai dening wong tanpa raga.”

Makna ini terasa dekat dengan realitas digital hari ini. AI beroperasi tanpa tubuh, tanpa darah, tapi menguasai hampir setiap aspek kehidupan: dari kendaraan otonom, sistem perbankan, hingga kebijakan publik berbasis algoritma. Entitas tanpa raga itu kini benar-benar “menguasai dunia”.

Barang yang Bisa Bicara

Ramalan Jayabaya juga menyinggung:

“Tanda akhir jaman, barang-barang bakal bisa ngomong.”

Apa yang dulu mungkin dianggap mustahil, kini jadi hal lumrah. Asisten virtual seperti Siri, Alexa, dan Grok mampu berinteraksi dengan manusia lewat suara dan bahasa alami. Barang-barang yang “bicara” bukan lagi dongeng, tapi realitas di meja kerja, rumah, bahkan mobil kita.

Etika, Alam, dan Jaman Edan

Jayabaya menegaskan bahwa kehancuran akan datang bila manusia kehilangan keseimbangan.

“Bumi bakal rusak amarga keserakahan.”

Peringatan ini terasa relevan di tengah ekspansi teknologi yang rakus energi dan sumber daya alam. Dalam pandangan Jawa, AI hanyalah alat; tapi jika disembah, ia bisa menjelma menjadi tiran yang menindas penciptanya sendiri.

Konsep “jaman edan” yang ditulis Jayabaya—masa ketika batas antara nyata dan maya kabur—tampak hidup di era metaverse, deepfake, dan realitas virtual. Dunia digital menciptakan bayangan baru yang sulit dibedakan dari kenyataan.

Ketika Ramalan Menyentuh Sains

Menariknya, pandangan Jayabaya seirama dengan peringatan fisikawan Stephen Hawking dalam wawancaranya dengan BBC pada 2014. Hawking menilai AI bisa menjadi “penyebab kehancuran peradaban manusia” jika tidak dikendalikan dengan kebijaksanaan.

Laporan MIT Technology Review tahun 2024 bahkan memperkirakan AI akan mencapai kecerdasan setara manusia dalam satu dekade mendatang. Sebuah kondisi yang barangkali menggambarkan bait lain dari Jangka Jayabaya:

“Wong kang linuwih bakal ngalahake wong biasa.” Atau dalam tafsir masa kini — mesin cerdas mengungguli manusia.

Dari Laku Tapa ke Etika Digital

Namun Jayabaya tidak berhenti pada peringatan. Ia menutup ramalannya dengan pesan moral: “Sapa eling lan waspada bakal slamet.”

Artinya, manusia yang sadar dan menjaga keseimbangan batin akan selamat dari zaman edan.

Dalam konteks modern, pesan itu bisa dimaknai sebagai ajakan untuk mengembangkan digital mindfulness — kesadaran etis dalam menghadapi teknologi. AI bukan musuh, tapi cermin: ia menunjukkan siapa kita sebenarnya.

Membaca kembali Jangka Jayabaya di era AI bukan sekadar nostalgia mistik. Ini refleksi mendalam tentang arah kemanusiaan. Sebab, di balik semua kecerdasan buatan, manusia tetaplah penentu: apakah ia memilih menjadi pengendali… atau justru dikendalikan oleh ciptaannya sendiri.***